HIDUP INI MEMBOSANKAN SEKALI, MENGAPA ?
Setelah libur panjang
dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1446 H, akhirnya beberapa Lembaga mulai masuk,
termasuk UIN Sunan Ampel Surabaya. Pada hari kedua masuk, Rabu, 09 April 2025, keluarga
besar Civitas Akademika Fakultas Adab dan Humaniora mengadakan Halal Bihalal. Rutinitas
tahunan ini diistiqamahkan bertujuan pokok dalam memperkuat silaturrahim antar
dosen dan tendik, termasuk antar keluarga masing-masing, mengingat tidak ada sesuatu
yang rutin kecuali di dalamnya ada makna luhur.
Hal yang menarik dari
kegiatan ini sehingga mendorong penulis untuk menguraikan dalam lembar
sederhana ini, salah satunya adalah percikan perkataan Prof. Dr. Husein Aziz,
M.Ag _selaku penceramah dalam acara Halal Bihalal tahun ini. Ia mengatakan, Hidup
ini membosankan, bila tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan tidak ada yang
bernilai dalam hidup kecuali yang terkoneksi denganNya setiap saat. Ungkapan pendek
ini sarat dengan makna dan substansinya sangat mengena dalam konteks kehidupan
ini. Bukankah dengan kondisi yang membosankan, seseorang cenderung kehilangan
jadi dirinya, alih-alih mudah tergerus sisi spiritualitasnya dalam hidup.
Membosankan memang hidup
ini, bila hanya terjebak pada fisik semata. Dosen atau mahasiswa akan merasa
bosan dan jenuh, bila aktivitas kesehariannya hanya dilihat dari dimensi fisik
semata, yakni memenuhi strukturasi perkuliahan yang sudah terjadwal dari awal
hingga akhir perkuliahan. Begitu juga, membosankan relasi suami-istri yang
hanya melihat hubungan keduanya dari dimensi fisik, termasuk aktivitas kesehariannya
yang begitu-begitu saja. Padahal, pergerakan hidup _apapun bentuknya_ ini tidak
lepas dari keterlibatan sang penggerak Sejati, yakni Allah SWT.
Pandangan fisik semata dalam
banyak hal akan mengelabuhi orang untuk melihat yang sejatinya. Ketika itu, ia
terjebak pada formalitas dalam hidup dan hanyut dalam nilai-nilai kemasyhuran
yang bersifat duniawi. Bila dibiarkan berlebih-lebihan merasuk dalam pikiran
dan hati seseorang akan memunculkan kemaruk sosial, konflik antar sesama dan
hilangnya kasih sayang sebab yang lain selalu dianggapnya sebagai lawan yang
harus dibinasakan, bukan sebagai patner kolaboratif untuk membangun peradaban
kemanusiaan yang lebih baik.
Sinergi Ilahi
Koneksitas dengan Allah SWT
atau yang disebut dengan “sinergi Ilahi” tidak dimaknai hanya dengan
menghadirkan diri dalam ritual peribadatan, seperti sholat, puasa, zakat dan
haji. Bukankah, mereka yang larut dalam ritual peribadatan ternyata juga membosankan
pada konteks tertentu, ketika ibadah yang dilakukan hanya dilihat dari dimensi
formalitas perintah semata. Padahal, dalam peribadatan ada dimensi non-formal
yang tidak kalah pentingnya, bahkan dimensi ini yang sangat menjadi perhitungan
kualitas ibadah itu, yakni keihlasan mengerjakannya, sekaligus menjadikannya
sebagai kebutuhan rohani kita.
“Sinergi Ilahi” bisa juga
berlaku dalam ruang sosial nyata sebab manusia juga mahluk sosial. “Sinergi Ilahi”
menghadirkan kesadaran bahwa setiap interaksi dengan yang lain selalu memiliki
dimensi ketuhanan, misalnya tunduk atas perintahNya. Karenanya, ketika “sinergi
Ilahi” menguat dalam setiap individu _ketika berinteraksi dengan yang lain_
maka yang dipikirkan dalam benaknya bahwa apa yang dilakukan adalah perwujudan
dari kepatuhan pada qadratNya. Dalam kondisi ini, membosankan yang selalu
menjerat dalam setiap aktivitas akan hilang sebab semangat berproses dilakukan
dengan penuh kesadaran disebabkan bermanfaat pada dirinya di satu sisi dan
bermanfaat pada orang lain di sisi yang berbeda sehingga bernilai ibadah.
Ibadah tidak hanya di masjid
dan surau atau langgar. Ibadah bisa terjadi di pasar, di kantor dan maal atau
di tempat keramaian lainnya. Aktivitas di luar ibadah ritual menjadi ibadah,
jika selalu disinergikan dengan Allah sebagai sumber sejati energi, misalnya
yang bekerja berniat untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yang sedang belajar,
niat bahwa belajar adalah perintah agama agar tidak terhegemoni dalam kebodohan
yang sangat berbahaya, termasuk juga yang mengajar. Yang menjadi politisi juga
demikian, niat memberikan kemanfaatan kepada yang lain melalui jalur kekuasaan.
Begitu juga yang menjadi orang biasa dengan aktivitas biasa-biasa saja _asal
tidak merugikan yang lain dan maksiat_ tetap juga dipandang sebagai ibadah,
dengan niat bahwa aktivitas yang dilakukan adalah juga perintah agama sebab
bermalas-malas dilarang orang agama, apalagi berdalih tawakal.
Oleh sebab itu, hidup ini
membosankan, jika terjebak hanya pada rutinitas hidup. Maknai rutinitas itu
sebagai sarana ibadah dengan mensinergikan semuanya dengan Allah SWT, apapun
aktivitas yang dilakukan. Allah maha pemaaf, penyayang yang sayangNya tidak
terbatas, dan maha pemberi yang pemberianNya tidak pernah habis (unlimited
giving). Jika kita yakin, maka sifat-sifatNya dijadikan sebagai sumber energi
agar semua aktivitas itu dalam rangka memberikan maaf, menyayangi dan memberi
kepada yang lain.
Akhirnya, perasaan bosan
sangatlah berbahaya dalam hidup, padahal membosankan bisa hinggap pada setiap
orang dan menyebabkan kemalasan hidup, apapun aktivitas penyebabnya. Karenanya
Nabi Muhammad Saw. mengajarkan doa _sebagaimana dilantunkan oleh Prof. Dr. Imam
Ghazali Said, MA dalam doanya_ yang artinya: “Ya Allah, aku berlindung
kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, rasa takut, pikun, dan kebakhilan. Aku
berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari cobaan
kehidupan dan kematian. Semoga kita semua selalu mensinergikan setiap aktivitas dengan nilai-nilai Ketuhanan. Amin…
Leave a Comment