“HAPPENING” HAUL GUS DUR
Membaca pemikiran al-marhum K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memang kaya akan gagasan dan selalu memantik inspirasi ketika dihadirkan dalam konteks kekinian. Ini tidak lepas dari bacaannya yang sangat kompleks, walau ia berasal dari tradisi pesantren yang sangat kuat. Di satu sisi, ia gemar menggunakan kaidah fiqhiyah untuk menjawab problematika keumatan dan kebangsaan, dan di sisi yang berbeda ia juga menggunakan logika berpikir orang Barat untuk memperkuat cara pandang agar dapat dicerna dengan baik, khusus kalangan akademisi.
Misal, ketika datang di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA, sekarang) tahun 2004 menghadiri undangan pertemuan aktivis BEM se-Jatim. Ada pertanyaan cukup lantang dari salah satu aktivis kaitannya dengan demokrasi. Buat apa kita memperjuangkan sistem demokrasi? Padahal kita juga dalam konteks tertentu menjadi korban dari sistem demokrasi?. Ini sebagai ekspresi kekecewaan para aktivis atas kondisi politik kekinian diwaktu itu _pasca dilengserkannya Gus Dur_ dimana sistem demokrasi belum memberikan perubahan yang berarti bagi kondisi bangsa, melainkan antar sesama anak bangsa masih saling “sikut-sikutan” atas nama demokrasi, alih-alih kurang memikirkan kepenting rakyat. Gus Durpun menjawab bahwa sistem demokrasi adalah masih pilihan terbaik dari pada sistem politik yang lain, walau di sana sini masih banyak kekurangan. Ia mengutip kaidah fiqih (legal maxim) yang masyhur di kalangan pesantren: ma ya yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting di dalamnya).
Sementara, logika berpikir Barat yang dikutip Gus Dur di antaranya tentang “happening” untuk memontret praktik keislaman di Indonesia dengan segala keunikannya yang tidak ditemukan secara utuh di negeri lain, misalnya tradisi burdahan, manaqiban dan lain-lain. Pikiran Gus Dur ini dapat dibaca secara lengkap dalam opininya berjudul “Islam dan Marshall McLuhan di Surabaya” yang ada pada buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2006).
Teori “Happening” sengaja penulis angkat menjadi bahasan pokok tulisan ini bersamaan dengan haul ke-15 Gus Dur, mengingat pesan yang disampaikan dari teori ini cukup menarik dalam membaca praktik keagamaan yang berkembang di tengah masyarakat. Menariknya, tidak sedikit praktik keagamaan dilaksanakan sangat ramai dengan melibatkan ribuan peserta yang hadir, tanpa dikoordinasi apalagi dimobilisasi secara massif. Bahkan, jarakpun tidak menjadi halaman untuk hadir. Yang hadir, hanya berharap keberkahan dan kebahagiaan secara rohani sebagaimana ditemukan dalam berbagai acara haul Kiai tertentu di berbagai daerah di Nusantara.
Makna “Happening”
Secara
bahasa “happening” diartikan dengan kejadian; tepatnya kejadian atau acara yang
dilakukan secara spontan dengan tidak ada perencanaan yang detail. Tapi dalam
pengertian Marshall McLuhan, sebagaimana di kutip Gus Dur, “happening”
diartikan sebuah peristiwa tertentu atau kejadian tertentu yang melibatkan
orang banyak. Terlibatnya banyak orang ini tidak ada proses mobilisasi,
melainkan keinginan diri sendiri karena kesukarelaan untuk datang dengan
berbagai alasan yang melatarbelakangi sesuai dengan kegiatan yang berkaitan
dengan penggunaan kata ini. Misalnya, “happening” dalam acara haul kiai yang
melibatkan ribuan orang berbeda dengan “happening” yang berkaitan dengan
politik, walau sama-sama sangat mungkin lahir dari kesukarelaan untuk terlibat.
Sekedar
untuk diketahui, Marshall McLuhan atau Herbert Marshall McLuhan adalah seorang
kritikus Kanada yang lahir pada tanggal 21 Juni 1911 dan Meninggal pada 31
Desember 1980. Ia juga dikenal ilmuwan Komunikasi yang pikirannya juga banyak
mempengaruhi kalangan media dan penikmatnya hingga kini. Salah satu pikiran
McLuhan, misalnya Any understanding of social and cultural change is
impossible without a knowledge of the way media work as environments.
Berpijak
pada pikiran ini, maka apapun kajian kita hari ini tentang perubahan sosial dan
kultural tidak akan mengalami proses analisis penyelesaian yang tajam dan
akurat, tanpa juga mengetahui secara detail bagaimana media itu bekerja ikut
mempengarui. Pasalnya, hari ini, misalnya, anak-anak kita hampir pasti tidak
bisa lepas dari media sosial dengan segala resikonya, maka proses perubahan
moralpun harus dilihat dalam konteks bagaimana konten-konten di medsos itu juga
turut mempengaruhi sehingga orang tuapun tidak bisa memberikan kebebasan
sepenuhnya pada anak untuk bermedsos, tanpa ada pengawasan dan pendampingan.
Begitu juga pada kasus perubahan yang lain, termasuk dalam pilihan dalam setiap
kontestasi politik.
Jadi,
kembali kepada “happening”nya McLuhan yang menjadi rujukan Gus Dur sebagai
media untuk menggambarkan fenomena praktik keagamaan yang melibatkan ribuan
atau bahkan jutaan orang yang hadir dengan suka rela, tanpa dimobilisasi. “Happening”
dalam konteks haul KH. Abdul Hamid Pasuruan, misalnya, yang diadakan setiap
tahun memantik peserta yang hadir dari berbagai daerah, walau undangan resmi
sebenarnya juga terbatas. Tapi, keinginan orang untuk hadir sulit dibendung _dan
tak mungkin untuk ditolak_ sehingga haul ini menjadikan semacam ajang silaturrahim
umat Islam, khususnya kalangan nahdliyin dari berbagai daerah. Begitu juga haul
tahunan Guru Sekumpul di Martapura Banjar Kalimantan Selatan, dimana yang hadir
juga tidak sedikit berbondong-bondong naik kapal dan pesawat dari tanah Jawa,
padahal mereka juga mengeluarkan uang sendiri dan tidak sedikit merencanakan
kehadirannya selama satu tahun.
Itulah “happening”
dalam praktik keagamaan yang memuat tentang nilai kesukarelaan, kecintaan,
sekaligus berharap keberkahan hidup. Semangat ini yang menghadirkan apa yang
disebut dengan spiritual well-being, yakni kondisi harmoni dengan diri
sendiri, masyarakat dan lingkungan. Akibatnya, pelakunya melakukan
segala cara terbaik untuk menghadiri haul, termasuk mengeluarkan uang dan
persiapan tenaga serta pikiran.
Oleh
karenanya, perenungan atas segala kejadian (happening) menjadi penting dengan
tujuan agar setiap individu terus menangkap, sekaligus memberikan makna
kebaikan bagi kehidupan, termasuk politisi sukses, mengutip Gus Dur. Politisi
sukses yang berkuasa tidak boleh melupakan para konstituennya yang suka rela
mendukung dalam setiap momentum kampanye dan pemilihan sebab dengan cara itu
mereka akan terus setia mendukung. McLuhan mengatakan: There is
absolutely no inevitability, so long as there is a willingness to contemplate
what is happening (Sama sekali tidak ada keniscayaan, selama ada
kemauan untuk merenungkan apa yang sedang terjadi).
Kondisi ini juga terjadi dalam perayaan tahunan haul Gus Dur yang menjadi semacam rutinitas “happening” di tengah masyarakat. Pasalnya, setiap kali bulan Desember __sejak meninggalnya Gus Dur 30 Desember 2009_ haul Gus Dur selalu dilakukan. Memang ada yang diadakan oleh pihak keluarga di Ciganjur atau Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Tapi yang diadakan para pecinta Gus Dur juga cukup banyak, walau tanpa ada instruksi dan tanpa mobilisasi apalagi sokongan dana. Para pecinta Gus Dur yang beragam mengadakan acara haul dengan sukarela dengan beragam pula bentuk kegiatan; mulai diskusi pemikiran Gus Dur, pentas budaya mengenang Gus Dur hingga doa lintas agama untuk Gus Dur dan lain-lain.
“Happening“ haul Gus Dur adalah soal mengenang perjuangan Gus Dur, sekaligus mendoakannya. Ia adalah pejuang kemanusiaan yang tidak pernah berhenti hingga akhir hayatnya; untuk melakukan teorisasi hingga aksi di lapangan kaitan mengawal kelompok marjinal yang tertindas, kelompok minoritas dan memperjuangkan hak kemanusiaan bagi siapapun agar berlaku adil di mata hukum. Semangat ini yang kemudian haul ini menjadi “happening” di tengah masyarakat, apalagi ketika kondisi bangsa tidak baik-baik saja semua merindukannya, khususnya berkaitan dengan isu-isu yang pernah diperjuangkan Gus Dur semasa hayatnya. Semoga selalu dapat rahmatNya (al-Fatihah).
------
Alhamdulillah... Matur sakalangkong kiyai.
BalasHapus