Jejak Kiai Ahmad Dimyati Trowulan; Ahli Falak dan Pejuang Revolusi


Wasid Mansyur*

Bermula dari temuan naskah satu lembar dari manuskrip-manuskrip Wadungasri Waru Sidoarjo warisan Keluarga Besar Bani Tamim Wadung Asri, termaktub kalimat dalam lembaran itu bahwa KH. Ahmad Dimyati ibn Romli Trowulan adalah salah santri KH. Ihsan Jampes atau Syekh Ihsan ibn Dahlan al-Jampesi al-Qadiry, penulis kitab “Sirajut Thalibin”. Temuan ini membuat penasaran penulis, mengingat nama tersebut belum dikenal semenjak penulis menyelesaikan disertasi tahun 2014 tentang “Tasawuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes”.

Penasaran semakin memuncak, mengingat pencarian melalui google-pun nama Kiai Dimyati Trowulan, selanjutnya disebut, hampir tidak ditemukan. Kalaupun ditemukan tidak ada penjelasan yang panjang. Bahkan, pencarian melalui google yang selalu muncul adalah nama Allah yarham KH. Dimyati Romli, mursyid thariqah Qadiriyah wa Naqsabandiyah Peterongan Jombang. Begitulah, bila ditilik dari tradisi nama-nama kiai di Nusantara memang banyak ditemukan nama yang sama atau mirip, baik itu karena kebetulan atau bisa jadi nama yang lebih muda bagian dari “tafa’ul’ (berharap baik) kepada yang lebih tua sebab umur, kealiman dan jelas kontribusi positifnya bagi Islam dan bangsa.

Untuk menghilangkan penasaran itu, penulispun mulai mencari tahu ke beberapa teman di Mojokerto dan sekitarnya. Hasilnya hampir nihil, apalagi menyebut nama Kiai Dimyati Trowulan ahli falak plus mahir ilmu faraid dari Trowulan Mojokerto. Hanya saja ada satu orang teman adik kelas di IAIN Sunan Ampel (UINSA, sekarang) yang memberikan harapan dan kejelasan untuk mengurai nama yang dimaksud hingga akhirnya penulispun mulai melakukan pemburuan kaitan makam Kiai Dimyati di desa Tejo Mojoagung, setelah beberapa bulan informasinya dan ahli waris yang bisa dikonfirmasi tentang Kiai Dimyati Trowulan diperoleh. Diucapkan terimakasih kepada Mbak Evi Nurafiyah, SS. (alumni FAHUM Angkatan 2001) yang memberikan informasi awal.  

Singkat cerita, tepat jelang Maghrib pukul 17.05 tanggal 26 Oktober 2024, penulis _bersama istri dan anak ketiga (Muhammad Irfan Muzakki) akhirnya bisa berziarah di makam Kiai Dimyati Trowulan, dengan menyempatkan waktu setelah “sambang” anak-anak di Ponpes Darul Ulum Peterongan Jombang. Memang tak mudah mencari makamnya sebab desa Tejo Mojoagung yang diinformasi sebagai tempat makamnya cukup luas, apalagi dibatasi oleh jalan raya lintas kabupaten-propinsi. Karenanya, berkali-kali penulis harus tanya kepada beberapa orang di jalan, mengingat pencarian makam melalui “google maps” juga tidak bisa memberikan kepastian sambil berjalan sesekali kirim fatihah kepada Kiai Dimyati Trowulan agar sowan diberi kemudahan oleh Allah SWT.

Dengan berbagai keruwetan dijalan, akhirnya makam Kiai Dimyati Trowulan ditemukan bersamaan ada juru kunci yang berada dekat arah makam, yang bernama Pak Slamet. Iapun nampaknya sangat kenal nama ini, tapi sayangnya ketika ditanya agak serius, pak Slamet juga miskin informasi. Hanya saja, informasi yang didapat darinya; bahwa makam Kiai Dimyati Trowulan selalu ramai jelang datangnya bulan Ramadhan, tepatnya setiap datangnya tradisi “megengan”. Mereka yang berziarah, banyak dari Trowulan hingga dari Kediri.

Berdasarkan informasi singkat ini, penulis semakin yakin, bahwa nama Kiai Dimyati _walau di nisannya tertulis HA. Dimyathi Trowulan_ memiliki kesamaan dengan nama yang ada dalam satu lembar manuskrip Wadung Asri, yang menjelaskan bahwa Ia adalah salah satu murid Kiai Ihsan Jampes Kediri yang sama-sama juga ahli falak, di samping juga ‘alim faraid dan pelaku sufistik. Penjelasan Mbak Evi dan pak Slamet juru kunci makam dianggap cukup untuk memberikan kepastian tentang relasi sanad keilmuan Kiai Dimyati dengan Kiai Ihsan kaitan ilmu falak, secara khusus.

Penulispun belum puas, pemburuan dilakukan kembali dengan wawancara langsung ke salah satu putra Kiai Dimyati yang berada dekat lampu merah Trowulan Mojokerto. Tanpa ada perjanjian, setelah maghrib(an) penulis nekat berangkat diantar adik ipar sambil kirim fatihah kepadanya, dengan harapan semoga dimudahkan sehingga banyak mendapat informasi kaitan dengan sosok Kiai Dimyati Trowulan. Perlu diketahui putra Kiai Dimyati yang dimaksud adalah KH. Rifa’i Dimyati, putra terakhir yang lahir pada 27 Desember 1947.

Dari Kiai Rifa’i banyak ditemukan informasi tentang keilmuan dan nasionalisme Kiai Dimyati, dengan berdasar pada cerita-cerita sesepuh yang sampai kepadanya, termasuk cerita ibunya sendiri, mengingat ketika Kiai Dimyati meninggal, Kiai Rifa’i masih kecil. Lantas siapakah KH. Ahmad Dimyati ibn KH. Romli Trowulan Mojokerto?

 

Dari Ahli Falak Hingga Pejuang

Tidak ada penjelasan kaitan dengan tanggal dan tahun kelahiran Kiai Dimyati Trowulan, selanjutnya disebut. Pastinya, ia meninggal tahun 1947 akibat sakit yang menimpanya setelah hidupnya harus berpindah-pindah tempat karena dikejar Belanda. 1947 adalah Era dimana kondisi bangsa sedang tidak baik-baik saja sebab masih berada dalam kondisi perang pasca perang revolusi 10 November 1945 dan tidak sedikit juga para pejuang yang diburuh dan ditangkap, apalagi mereka yang terindikasi sebagai penggerak perlawanan.  

Hidup dalam lingkungan santri bersama kedua orang tuanya, maka menjadi wajar bahwa Kiai Dimyati sejak kecil sudah terbiasa dengan tradisi-tradisi santri. Pasalnya, ayahnya Kiai Romli adalah salah satu ulama sepuh di Trowulan Mojokerto yang masyhur sebab beliau memiliki hubungan dengan ulama-ulama sepuh lainnya di Mojokerto dan sekitarnya. Sementara dari ibunya, Nyai Sholihah adalah keturunan ke-13 dari Syekh Jumadil Kubro, dan turunan ke-25 sampai ke Sayyidah Fatimah al-Zahro putri Nabi Muhammad SAW.

Kaitan keilmuan Kiai Dimyati Trowulan belum ada data yang jelas, pastinya lingkungan keluarga yang pertama kali membentuknya untuk mengenal Islam, membaca al-Qur’an hingga kitab-kitab Kuning. Salah satu guru yang turut membentuk perkembangan intelektual Kiai Dimyati __yang ditemukan penulis berdasar manuskrip Wadung Asri_ adalah Kiai Ihsan / Syekh Ihsan ibn Dahlan al-Jampesi Kediri. Perlu diketahui, Kiai Ihsan adalah salah salah satu ulama Nusantara yang dikenal ahli tasawuf dengan magnum opusnya “Sirajuth Thalibin” (syarah “Minhaj al-‘Abidin”) dan juga ahli dalam ilmu falak dengan karyanya “Tashrih al-Ibarat” (Syarah dari kitab “Natijah al-Miqat” karya KH. Ahmad Dahlan Semarang).   

Inilah yang termaktub dalam satu lembar dari manuskrip Wadung Asri sebagai berikut:

هذا ما استخرجه الفقير من تذكرة الإخوان وبلوع الوطر فى العمل بالقمر أحمد دمياطي بن رملي تروولان مجوكرطا وصححه شيخه الحاسب محمد إحسان ابن شيخه العلامة المرحوم محمد دحلان كديري.


“Ini (kaitan penetapan awal Romadhan tahun 1349/1931 terjadi pada malam hari Selasa) merupakan pendapat yang ditakhrij dari kitab Tazdkirah al-Ikhwan dan Kitab Bulu’ al-Wathar fi al-‘Amal bi al-Qamar oleh Ahmad Dimyathi ibn Romli Trowulan. Dan juga dibenarkan/tashhih oleh gurunya yang ahli hisab, yaitu Muhammad Ihsan putra gurunya al-‘Allamah al-Marhum Muhammad Dahlan Kediri.”

Dari penjelasan singkat dapat dipahami bahwa keilmuan Kiai Dimyati Trowulan, khususnya ilmu falak sangat mendalam dan betul-betul menguasai sehingga menjadi rujukan dalam setiap penentuan awal Ramadhan, apalagi naskah satu lembar itu adalah semacam penjelasan  mengapa malam Selasa tanggal 20 Januari 1931 ditetapkan sebagai awal jatuhnya bulan Ramadhan. Bukan hanya itu, kepakarannya dalam Ilmu falaq tidak hanya piawai dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, tapi ia mampu juga memprediksi kapan pisang itu masak dan kapan layak diambil dari pohonnya. Mengutip perkataan Kiai Rifa’i: “Buya dulu pernah kedatangan tamu dengan jumlah yang tidak sedikit. Sebelum tamu itu pulang, diberi pesan agar datang kembali ke sini pada hari dan bulan yang telah ditentukan sebab bersamaan dengan itu pisang-pisang yang ada di sekitar pondok banyak yang masak sehingga dapat dinikmati bersama-sama.

Kepakarannya dalam ilmu falak, termasuk ilmu faraid, menjadi alasan tersendiri banyak santri-santri yang ingin mendalami dua ilmu yang dikenal rumit ini dalam rangka menyempurnakan dengan belajar langsung kepada Kiai Dimyati Trowulan yang dikenal pakarnya pada waktu itu. Pasalnya, kepakaran ini tidak lepas dari sanadnya yang sambung menyambung ke Kiai Ihsan Jampes Kediri dan Kiai Dahlan Semarang. Salah satu murid Kiai Dimyati yang cukup dikenal juga ahli falak dan ilmu faraid adalah KH. Abdul Jalil Abdurrahman Tambak Beras Jombang.

Itulah fakta yang ditemukan penulis, di samping ia yang hidup hingga akhir 1947 larut dalam perjuangan membela bangsa. Bahkan, dalam satu riwayat disebutkan bahwa rumah Kiai Dimyati telah menjadi jujukan banyak para penjuang untuk sekedar meminta restu, sekaligus minta “gemblengan” agar diberi keselamatan melawan penjajah dan akhirnya menang di medan laga peperangan.

Kemampuan ini yang kemudian, Kiai Dimyati menjadi buronan Belanda sehingga iapun harus keluar masuk pondok dan berpindah-pindah tempat untuk melakukan penyelamatan. Kiai Rifa’i menceritakan sebagaimana diperoleh dari cerita-cerita leluhurnya: “Buya ketika dikejar-kejar Belanda, ia berpindah-pindah tempat dari Trowulan, Mojoagung hingga Mojowarno. Menariknya, ketika itu yang diselamatkan adalah anak dan kitab-kitabnya. Semua kekayaan yang dimiliki ditinggalkan, asal anak dan kitab-kitabnya terselamatkan.”

Jadi, Salah satu alasan rasional, Kiai Dimyati Trowulan dimakamkan di desa Tejo Mojoagung _atau bukan di Trowulan_ disebabkan karena ia sakit di tengah pelarian dari Belanda. Pastinya, menurut penulis, pilihan ini sekaligus menghilangkan jejaknya sehingga hal-hal yang berkaitan dengannya bisa terselamatkan dari kekejaman Belanda, misalnya keluarga dan pondoknya. Semoga ada penulisan tentang Kiai Dimyati dengan lebih mendalam agar generasi muda bisa belajar darinya tentang keuletan mencari ilmu dan beribadah sekaligus cara mencintai Bangsa. Kepada beliau alfatihah.

*Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UINSA, Pemerhati Sejarah Tokoh

  



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.