PEGAWAI OUTSOURCING (JUGA) SANTRI
Suatu ketika, penulis dihampiri oleh salah satu pegawai outsourcing bagian kebersihan UIN Sunan Ampel Surabaya __tanpa menyebutkan namanya_, untuk berkenan dapat meluangkan waktu mengaji kitab kuning. Keinginan “agak aneh” ini penulis anggap guyonan sehingga tidak perlu direspon serius dan mengiyakan, apalagi pegawai ini juga sering kali ketemu ketika membersihkan area masjid Raya Ulul Albab dan sekitarnya. Obrolan serius tidak pernah terjadi, bahkan lebih banyak perbincangan remeh temeh soal keseharian, baik di kampus maupun di tempat lain. Karenanya, begitu ada permohonan ngaji, terbersit dalam hati, kok bisa pegawai outsourcing minta mengaji kitab kuning?.
Keinginan pegawai
outsourcing menggebu-gebu. Setiap kali ketemu, setiap kali juga mengajukan
permohonan dengan lisan
dan berkali-kali tidak pernah penulis respon serius. Begitu seringnya ia
minta mengaji kitab kuning, akhirnya penulispun tidak ada daya untuk menolak
sebab teringat “dawuh” Nabi Muhammad Saw yang artinya: “Barangsiapa
menyembunyikan suatu ilmu yang Allah berikan kemanfaatan dengannya bagi urusan
manusia dan agama, maka pada hari kiamat Allah akan mencambuknya dengan cambuk
dari neraka” (ibnu Majah). Banyak pertimbangan untuk menunda untuk menerima,
termasuk waktu ke kampus lebih banyak di kampus Gunung Anyar menyesuikan jadwal
mengajar, sementara pegawai outsourcing bertugas di kampus A Yani, Area Masjid
dan Sekitarnya.
Singkat cerita,
disepakatilah mengaji kitab kuning dengan waktu setelah sholat asar setiap hari
Jum’at, tanpa kesepakatan mengaji kitab apa yang akan dibaca. Ketika waktunya
tiba, ternyata pegawai tadi membawa kitab kuning yang bernama “Kifayatul
al-Atkiya’ wa Minhaj al-Ashfiya” “Syarh Hidayah al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya”
karya Sayyid Abu Bakar ibn Sayyid Muhammad Syatha, salah satu kitab tasawuf
yang sangat masyhur di kalangan santri pondok pesantren. Melihat kitab yang di
bawah ini sedikit “lungset”, penulis tambah meyakini bahwa ia sudah bisa
membaca atau setidaknya pernah mengaji kitab ini sehingga sistem mengajipun
diputuskan menggunakan metode “Sorogan”.
Perlu diketahui, dalam
sistem pendidikan pesantren, metode “Sorogan” ini memiliki kekhasan tersendiri
yang membedakan dengan metode “Bandongan”. Pasalnya, salah satu kekhasan metode
“Sorogan” adalah santri atau murid yang lebih aktif membaca dan memaknai Kitab
Kuning, sementara guru/kiai lebih banyak mendengar, sambil meluruskan bila ada
kesalahan baca atau kesalahan memaknai. Penulis, cukup bersyukur, pernah
ditakdir mengikuti metode “Sorogan” selama satu tahun dengan Mengaji kitab
“Bahjatul Wasail” kepada K.H.R. Abdul Mujib Abbas, Pengasuh Lembaga Pesantren
al-Khoziny Buduran Sidoarjo sekitar tahun 1997, dan pada kesempatan yang sama
juga pernah menghatamkan kitab ini kepada Kiai Mas Wahid Naufal Ndresmo dengan
metode “Bandongan” (lahumal Fatihah).
Apa yang dilakukan pegawai outsourcing dengan mengisi waktu kosongnya untuk mengaji kitab tasawuf setidaknya mengingatkan kita semua agar tidak boleh lelah mengaji. Mengaji _atau membaca kitab_ adalah sarana efektif untuk menambah pengetahuan, sekaligus menjadikan bahan pemantik koreksi _peningkatan_ diri, apalagi yang menjadi pilihan mengaji adalah kitab materi tasawuf. Pasalnya, gemerlapan dunia yang sering membuat lupa diri manusia kekinian harus dihangatkan dengan cara mendekatkan diri pada konsep-konsep sufistik, seperti taubat, sabar, zujud dan lain-lain, agar kiranya kematangan berproses semakin terbentuk sebagaimana kematangan padi yang terus menunduk dalam kemanfatan.
-----
Sambungkan “Roso”
Beragama tidak cukup hanya puas pada dimensi ritual, perlu
memperhatikannya dari dimensi spiritual terdalam, yakni dengan cara melihatnya dari perspektif tawasuf. Kitab
“Kifayatul
al-Atkiya’ wa Minhaj al-Ashfiya” yang menjadi pilihan mengaji pegawai outsourcing adalah karya tasawuf yang membincangkan
soal bagaimana setiap individu Muslim harus berusaha semaksimal mungkin
untuk menata hati agar terus memiliki
ketersambungan “roso” dengan Allah SWT setiap waktu. Pastinya
dengan tahapan-tahapan aktivitas yang dapat menyebabkan tersambungan “roso” benar-benar
terwujud, seperti ikhlas, tawakal, pentingnya belajar dan menjaga waktu dan
lain-lain.
Untuk sekedar
diketahui, penulisnya Sayyid Abu Bakar Syatha atau Sayyid Bakri Syatha adalah
salah satu ulama yang terkenal pada masanya (akhir abad 19 M), bahkan ia banyak
mempengaruhi perkembangan keislaman di Nusantara (baca: pesantren), baik secara
langsung atau melalui karya-karyanya. Sebut saja,
misalnya karya lain yang sering menjadi rujukan kalangan pesantren dalam
mengaji dan digunakan dalam forum bahsul masail adalah Hasyiyah I’anah al-Thalibin. Sementara, beberapa murid Sayyid Bakir
Syatha di Nusantara adalah Syekh
Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Syekh Mahfud Termas, Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Abdul Hamid Kudus, dan masih banyak
lainnya.
Sayyid Bakri Syatha melalui kitab “Kifayatul
al-Atkiya” menjelaskan bahasan tentang tasawuf dengan berpijak pada nadham dalam kitab “Hidayah al-Adzkiya’
ila Thariq al-Auliya”
karya Syekh Zain al-Din Al-Malibari dengan penjelasan yang mudah dipahami. Ulasannya cukup
menarik dan memudahkan pembacanya, serta tidak jarang mengutip pandangan ulama salaf
dalam rangka memperkuat pandangannya dalam menafsirkan nadham yang dimaksud, atau mengutip beberapa
cerita sufistik lainnya. Sebut saja misalnya, ketika menjelaskan nadham yang membahas tentang pentingnya membagi
waktu sebagaimana disebutkan berikut ini:
وزع بعون
الله وقتك واصرفن # كلا بما هو لائق متبتلا
“Bagilah waktumu _dengan pertolongan Allah_ dan gunakan dengan sungguh-sungguh # Semuanya dengan sesuatu yang layak penuh keseriusan”
Sayyid Bakri mengatakan kaitan dengan nadham tersebut: bahwa menggunakan waktu untuk hal-hal yang baik/positif adalah keharusan. Karenanya bagilah waktu kita dengan beragam kebaikan __tidak tunggal kebaikan_ agar jiwa tidak bosan hanya fokus pada satu kebaikan. Sederhananya (tambahan penulis), kebaikan tidak hanya membaca al-Qur’an, tapi juga ada dzikir, bersholawat dan lain-lain. Untuk memperkuat penjelasnya, Sayyid Bakri mengutip perkataan imam al-Ghazali sebagai berikut:
من أراد أن يدخل الجنة بغير حساب فليستغرق جميع أوقاته بالطاعة ومن أراد أن ترجح كفة حسناته وتثقل موازين خيراته فليستغرب فى الطاعة أكــثر أوقاته.
“Siapa yang ingin masuk surga tanpa dihisab, maka ia harus menghabiskan waktunya dengan ketaatan. Siapa yang ini kebaikannya unggul dan timbangan kebaikannya terus berat, maka ia harus meratakan lebih banyak waktunya untuk ketaatan.”
Itulah sebagian bahasan dalam kitab ini yang membahas betapa pentingnya membagi waktu agar terus dalam kebaikan dan ketaatan. Pasalnya, mereka yang merugi sepanjang sejarah kemanusiaan tidak lain karena waktu-waktu mereka lebih banyak digunakan dalam kejelekan, termasuk suka menyakiti yang lain. Maka memastikan waktu berjalan dengan kebaikan, sama artinya kita sedang membangun singgasana kebaikan pula dimasa yang akan datang.
Akhirnya, siapapun orangnya bisa menjadi santri asal terus mengaji, termasuk pegawai outsourcing. Mengaji dan belajar adalah salah satu karakter santri. Bukankah para ulama Nusantara, seperti KH. Hasyim Asy’ari Jombang, KH. Ahmad Dahlan Muhammadiyah, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin Asembagus, KH. Khozin Panji Sidoarjo dan lain-lain adalah pembelajar tangguh sepanjang hayat, padahal mereka semua tetap berinteraksi dengan masyarakat dan berjuang bagi agama dan bangsa. Semoga Kita Tetap Menjadi Santri Sesungguhnya. #SelamatHariSantri2024
Leave a Comment