HEALING DAN SINAU SEJARAH MATARAM
Tepat bersamaan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2024, Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam (SPI) Fakultas Adab berangkat ke Jawa Tengah dalam rangka Study Tour untuk mempelajari dan merenungi jejak kejayaan Mataram Islam bertajuk "Historical Expedition; Napak Tilas Bhumi Mataram Islam". Study tour ini telah melibatkan 288 Mahasiswa dan 12 dosen SPI sebagai pembimbing dalam perjalanan dua hari, yaitu 28-29 Oktober 2024.
Selama dua hari ini, ada empat tempat yang menjadi tujuan, yaitu makam Imogiri, Pura Pakualaman, Keraton Ngajokyakarta Hadiningrat, dan Masjid Ghede Kauman. Empat tempat ini menjadi semacam ikonik yang unik bagaimana sejarah dan budaya berkolaborasi dalam ruang kemanusiaan sehingga nilai-nilai kearifan lokalnya dirasakan hari ini, terkhusus sebagai ikonik dari perkembangan sejarah Yogyakarta dan sekitarnya.
Dari tempat-tempat ini, bisa dipelajari bagaimana kekuasaan politik kerajaan sarat dengan konspirasi, bukan kekuasaan yang tenang-tenang saja selamanya. Di samping setiap rezim mewariskan banyak tradisi politik dan budaya kaitan apa yang disebut dengan Jawa Islam atau Islam Jawa. Bukan hanya itu, nama-nama Islam dijadikan simbol kedigdayaan bagaimana posisi Raja harus ditaati oleh siapapun. Sebut saja, misalnya, nama Sultan Agung Hanyokrokusumo atau Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram(nama Arab), dimana penyebutan kata Sultan dinamanya tidak sekedar ujuk-ujuk ada, melainkan karena memang usaha Sultan Agung yang meminta gelar ini disematkan dalam namanya dengan mengirimkan utusan ke Syarif Makkah sekitar tahun 1641.
Mengapa harus ke Makkah?. Pasti ini tidak lepas dari upayanya membangun legitimasi struktural-kultural atas kedigdayaan kerajaan mataram Islam dengan Makkah sebagai simbol kemuliaan awal lahirnya Islam, sekaligus menyaingi Pangeran Ratu dari Banten, raja pertama di Jawa yang menerima gelar sultan dari Makkah bergelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir.
Belum lagi tentang nama Tumenggung Endranata yang dihukum mati dengan cara dipancung dan makamnya ditaruk di antara tanggal menuju makam Sultan Agung dengan bentuk berbeda. Ia sebagai simbol penghianatan atas kerajaan Mataram Islam sebab melakukan pembangkangan yang berakibat kekalahan Mataram di Batavia, dan ia juga menusuk dari belakang yang berkolaborasi dengan Belanda (VOC). Masih banyak keunikan sejarah Mataram Islam. Apapun itu, Mataram Islam ikut memberikan model bagaimana Islam itu dipraktikkan dalam ruang kebudayaan Jawa (Nusantara). Karenanya, Sejarawan Italia Johan Dalberg Acton pernah mengatakan "Sejarah bukanlah beban ingatan melainkan penerangan jiwa."
Jadi, perjalanan kali ini bukan sekedar healing, tapi sekaligus "sinau sejarah". Karenanya menjadi perjalanan barokah kesejarahan Nusantara. Bukannya, Allah SWT sendiri menganjurkan kita untuk jalan-jalan agar bisa banyak mengetahui dan mengambil ibroh kaitan bagaimana sejarah orang baik hingga sejarah para pecundang (lihat: Ali Imran: 137 dan al-An'am: 11). Karenanya, rancang masa depan kita dengan belajar masa lalu agar semakin bermakna menuju kemanusiaan sejati, mengutip semangat firman Allah dalam al-Hasyr: 18.#salamSejarah
Masyuk Pak Wasid!! Terus semangat berdakwah melalui pena!!
BalasHapus