CATATAN NILAI ETIK DARI MANUSKRIP NGINDEN

 


Wasid Mansyur*


Salah satu keberhasilan dari dakwah para ulama di Nusantara adalah kemampuannya membumikan nilai-nilai etik Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Di tengah-tengah proses menanamkan ajaran Islam, misalnya tentang akidah, fikih atau akidah, para ulama itu selalu menjadi teladan, sekaligus memberikan inspirasi dan motivasi agar masyarakat lokal tidak mudah berputus asa, tetap istiqamah dan terus membangun hubungan baik dengan manusia, alam dan Allah SWT.

Karenanya, dalam banyak manuskrip ulama Nusantara, sepanjang temuan penulis, sering kali ditemukan catatan-catatan pinggir dari manuskrip tertentu, walau tidak jarang catatan itu sebenarnya tidak ada kaitannya dengan substansi bahasan yang ada dalam manuskrip itu. Bukan hanya dipinggir, terkadang juga ditemukan catatan atau semacam quotes pendek yang diletakkan dalam satu halaman, misalnya dilembar halaman pertama. Pastinya, penulisan catatan ini sebagai pengingat kepada siapapun yang membaca manuskrip agar senantiasa memperhatikan pesan moral catatan, setidaknya sebagai pengingat agar hidup semakin baik dan semua kebaikan harus juga berarti bagi lingkungan sekitar.

Salah satunya, misalnya, penulis menemukan model catatan itu dalam “manuskrip Nginden”. Penyebutan manuskrip Nginden ini dimaksudkan dengan manuskrip yang ada di wilayah Nginden Surabaya, tepatnya manuskrip warisan dari “Allah yarham“ KH. Mas Muchith ibn Kiai Syarif,  salah satu kiai sepuh dimana makamnya berada di area makam “Mbah Astro Rembulan” di Nginden Surabaya, yang kontribusi dakwahnya cukup penting dalam membangun kultur santri di Surabaya. Dan Nginden itu sendiri __sebagai bagian dari kampung santri, masuk wilayah kecamatan Sukolilo Surabaya.

Catatan yang dimaksud dalam manuskrip Nginden berada di lembar pertama manuskrip “Ghayat al-Ikhtishar li Abi Syuja’ al-Musamma Matan al-Ghayat wa Taqrib”, salah satu kitab kuning yang banyak dikaji dan menjadi rujukan awal kalangan pesantren dalam memahami fikih. Catatan ini sekali lagi, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan isi kitab manuskrip, tapi penting untuk diketahui sebagai pengingat bagi penulis dan pembacanya.

Pertama,  catatan itu berbunyi:
أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَان
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ # وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ

“Saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara # Akan aku kabarkan padamu perinciannya dengan jelas.”

 
“Kecerdasan, kemauan keras, semangat, bekal cukup (harta) # Bimbingan ustadz dan waktu yang lama”

Catatan ini adalah semacam quotes berupa syi’ir imam Syafi’i untuk kalangan para pencari ilmu. Intinya dari quotes ini bahwa untuk menjadi sukses dalam mencari ilmu, setidaknya enam perkara sebagaimana yang disebutkan harus menjadi perhatian serius, mengingat _misalnya, bagaimana mungkin orang mencari ilmu bisa sukses tanpa adanya semangat dan kemauan yang keras dengan belajar, belajar dan belajar. Maka, kutipan ini diambil dalam rangka menjadi motivasi bersama, walau secara substansi tidak ada kaitannya secara langsung dengan substansi manuskrip itu sendiri yang membahas tentang fikih.

Kedua, catatan itu berbunyi:
لاتنظرن لفرج عند جمعها # فإنه يورث الغشي فى العين
ولا يقبل فيها إمرأة أحد # إن الولد بها يصم فى الأذنين

"Sungguh jangan melihat kelamin istri ketika berhubungan intim # sebab hal itu menyebabkan _pandangan_ mata kabur"

dan jangan seseorang menciumnya # sebab sesungguhnya dua telingannya anak akan tuli"

Dua syi’ir ini menarik, walaupun tidak ada kaitannya secara langsung dengan dua syi’ir sebelumnya. Tapi setidaknya dua syi’ir ini mengingatkan bahwa para pencari ilmu juga jangan hanya fokus para ilmu, tapi jika sudah dianggap cukup, maka harus memikirkan pernikahan sebagai konsekwensi dari implementasi ilmu yang diperoleh, khususnya kaitan dengan bab al-Nikah. Bahasan ini juga banyak ditemukan secara detail dalam kitab-kitab fikih yang membahas bab pernikahan kaitan hukum melihat istri/suami dan sejenisnya.

Akhirnya, manuskrip bukan sekedar barang kuno yang hanya dipajang dan menjadi koleksi. Tapi di dalamnya ada nilai-nilai peradaban luhur yang harus diakses oleh generasi kekinian agar tidak memantik keterputusan nalar atau cara pandang di tengah gencarnya nalar hari ini dijajah dari segala penjuru, termasuk dari “serangan” media sosial yang sangat komplek informasi di dalamnya melalui smart phone. Semoga kita sehat dan istiqamah berbuat baik dan mengajak kebaikan kepada yang lain.

.....

* Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.