MASJID DAN KEARIFAN LOKAL
Wasid Mansyur
Pagi ini
Pukul 08.00-09.00, 6 Juni 2024, penulis bersyukur kepada Allah SWT, salah satu
mahasiswi bimbingan -bersama Ustadz Najibul Khair, MA., P.H.D, yang bernama Izdihar
Khoirun Aisha lulus dengan sempurna dan layak menjadi sarjana Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora 2024. Ia diuji oleh Ustadzah Rohimah,
M.Fil.I dan Ustadz Dwi Susanto, M.Hum. dengan
Skripsi yang ditulis berjudul “Sejarah dan Perkembangan Arsitektur Masjid Induk
di Pondok Pesantren Darul Ulul Jombang”. Bahasan ini menarik sebab
menggambarkan bagaimana masjid itu berdiri, sekaligus bagaimana masjid itu
menjadi sarana dalam turut serta menyebarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat,
terkhusus kepada para santri.
Dalam perkembangan
Islam, fungsi Masjid sangat penting, termasuk masjid-masjid yang ada di
Nusantara perannya cukup besar dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman di
tengah masyarakat. Masjid bukan sekedar bangunan dan arsitekturnya, tapi
sekaligus menggambarkan pendiri dan masyarakat sekitarnya. Contoh misalnya, arsitektur
Masjid Demak, Masjid Jami’ Sumenep, Masjid Kudus, Masjid Sunan Ampel dan
lain-lain, bukanlah sekedar bangunan dengan arsitekturnya yang unik, melainkan
menggambarkan beragam kearifan lokal; mulai pilihan bentuk dan maknanya dan
aktivitas apapun yang turut membentuk agar masjid itu tetap ramai sebagai sarana
berdakwah, minimal sebagai sarana sholat berjama’ah.
Skiripsi ini
juga demikian, Shasa panggilan penulisnya, mampu menggambarkan bagaimana
pertumbuhan dan perkembangan arsitektur serta peran masjid Induk Pondok
Pesantren Darul Ulum. Sekilas, masjid Induk ini mulanya hanya mushola kecil
sebagai sarana sholat dan tempat belajar para santri yang didirikan oleh KH.
Tamim Irsyad bersama menantunya KH. Cholil Juraimy tahun 1911. Dijadikan menjadi
masjid bersamaan dengan santri Pesantren Darul Ulum semakin banyak dan posisi
masjid Jami’ jauh dari area pondok pesantren; tepatnya di jalan raya depan Pasar
Peterongan Jombang.
Pertama,
dilihat dari arsitekturnya, bangunan masjid menampakkan model sebagaimana
masjid-masjid tua di Nusantara, misalnya yang mencolok adanya Menara, Atap
Tumpang, Saka Guru dan lain-lain. Bangunan-bangunan ini memiliki makna simbolik-filosofis
sehingga perlu direnungkan sebagai pelajaran hidup agar kita terus berbenah
dalam setiap saat sehingga menjadi manusia yang sebenarnya. Nilai-nilai ini,
misalnya, ada pada “atap tumbang” dengan mahkotanya, yang terdiri dari tiga atap
dan mahkota berada paling atas. Mahkota mengambarkan tentang keesaaan Allah
SWT, dengan arti bahwa apapun yang kita lakukan dalam hidup, diharapkan tidak
lepas dari semangat meng-Esa-kanNya, apapun profesinya. Kesadaran akan keEsaan
akan mengggiring kita untuk terus hati-hati dalam hidup agar tidak mudah memonopoli
hak orang lain secara dholim sebab semuanya adalah otoritas sang Esa, Allah
SWT.
Sementara itu,
tiga atap itu mengambarkan soal Islam (atap paling dasar), Iman (atap tengah) dan
Ihsan (atap atas. Artinya, masjid Induk pondok Darul Ulum menegaskan perannya
sekaligus mengajak umat Islam agar kiranya berusaha untuk hidup dengan standar
ideal keislaman, keimanan, dan ke-Ihsan-an yang berkelindan secara bersamaan. Tidak
cukup iman, tanpa Islam. Atau Islam tanpa Ihsan. Ketiganya menjadi penentu kesungguhan
Muslim dalam beragama. Jika kita memang bersunggung-sungguh mengerjakam sholat,
maka sholat itu harus benar-benar membentuk pribadi kita baik kepada orang lain
sebagaimana manifestasi dari Ihsan, mengingat dalam sholat ada ketertundukan invidu
secara total kepada Allah dan ada pesan damai pada penghujung sholat ketika
kita membaca salam ke kanan dan ke kiri.
Di samping
itu, kedua Izdihar juga mampu menggambarkan bagaimana hubungan Masjid Induk
dengan tradisi di sekitarnya, mengingat masjid ini berada di lingkungan Pesantren
Darul Ulum. Temuan ini, sekaligus bisa dijadikan landasan teori bahwasanya masjid
dibangun tidak dalam ruang yang kosong, ia akan dipengaruhi oleh apapun yang ada
disekitarnya; mulai pendiriannya hingga masyakatnya. Konteks penelitian ini, Pesantren
Darul Ulum yang dikenal dengan Tarekat Qadiriyan wan Naqsabadiyah, ternyata
juga mempengaruhi aktivitas kegiatan masjid Induknya, termasuk kegiatan
pembinaan mental spiritual untuk para santri.
Temuan ini memberikan
petunjuk dalam konteks yang luas, betapa masjid memiliki pesan tentang kearifan
lokal sekitarnya. Perbedaan masjid baik struktur bangunan maupun kegiatan di
masjid bisa jadi merupakan gambaran atas paradigma pendiri masjid dan masyarakat
sekitarnya. Artinya, ideologi pendiri
dan masyarakat sekitar masjid dapat dipastikan akan mempengaruhi perjalanan
pendirian dan perkembangan masjid. Bahkan, perubahan ideologi masyarakat dapat
dipastikan juga mempengaruhi perubahan masjid sehingga cukup beralasan bila
kemudian masjid menjadi penyebab konflik sebab ia dijadikan sebagai sarana perebutan
identitas kelompok tertentu sebagaimana
marak di masjid-masjid perkotaan.
Akhirnya, masjid adalah tempat strategis bagi pertemuan muslim, bukan saja tempat ibadah semata. Pasalnya, aktivitas pokok di masjid, misalnya sholat Jama’ah, dalam konteks tertentu memiliki dampak sosial yang tidak sedikit dalam membangun hubungan harmoni antar masyarakat. Karenanya, jangan pernah sepikan masjid di sekitar rumah kita. Jadikan jamaah di masjid, bukan saja berharap pahala lebih dibandingkan sholat di rumah, tapi dalam rangka membangun harmoni sosial dengan sesama seiring berjama’ah di masjid akan menambah pertemuan dengan teman dan tetangga yang sulit terjadi di luar masjid karena kesibukan masing-masing.
Leave a Comment