KALIMAT YANG “MEMANTUL”


Wasid Mansyur 


Kalimat adalah kumpulan kata-kata yang memberikan makna bagi penikmatnya, baik pendengar atau pembacanya. Karena makna inilah, kehidupan manusia sejatinya adalah manifestasi aksi nyata yang diuntai dan diunduh dari kalimat-kalimat yang dipahami setiap hari. Itu artinya, kalimat memiliki pantulan bagi kehidupan seseorang. Semakin banyak kalimat yang kita nikmati dari kalimat-kalimat baik, maka makna kalimat itu akan memantulkan kebaikan dalam pikiran, hati dan tindakan sosial kita. Begitulah sebaliknya, jika kalimat “jelek” yang lebih akrab dalam mata dan telinga kita, lambat tapi pasti kejelekan makna yang ada dalam kalimat itu akan mempengaruhi mentalitas dan aksi nyata jelek dalam kehidupan.

Maka dari itu, pandai-pandai memilih dan memilah kalimat dengan cara kritis terhadap maknanya, dengan ukuran manfaat atau mudharatnya.   Belajarlah dari para Kiai yang rutin melantunkan kalimat-kalimat baik yang peroleh dari kitab Dzalailul khairat, manaqib, ratib al-Haddad serta dzikir-dzikir berijazah lainnya yang dilakukan secara istiqamah siang dan malam sehingga kehidupannya penuh dengan kemanfaatan dan berkah. Apa yang dibaca para kiai adalah kalimat-kalimat kebaikan, maka niscaya kalimat-kalimat dirutinkan memantulkan kebaikan, dan kehidupannya selalu terstruktur jauh dari kejelekan.

Rif’at Ali Muhammad dalam buku "Sabil al-Rasyad ila Naf’i al-‘Ibad" karya Syekh Ahmad al-Damanhuri, memberikan kata pengantar yang cukup menarik kaitan dengan kalimat sebagai berikut: 

فللكامة فى الإسلام أثرها وخطرها ووزنها وثقالها والكلمة تتحد قيمتها ويترتب عليها جزاؤها بمقدار ما بها من أثر فى المعاش أو المعاد فالتوحيد يكون بكـلمة والكفر كذلك بكـلمة.

   

“Kalimat dalam Islam memiliki pengaruh, bahaya, timbangan hingga beratnya. Bersatunya kualitas nilai sebuah kalimat dan struktur balasannya tergantung pengaruhnya di dunia atau diakhirat. Karenanya, pengesaan kepada Allah wujud dengan kalimat (sebagai pembuktian), sebaliknya kekufuran juga wujud dengan kalimat.”

Jadi, kalimat memiliki makna, dan kualitas makna akan mempengaruhi kualitas kalimat itu sendirinya. Jika makna itu berdampak kebaikan, maka secara otomatis kalimat itu baik, sebaliknya kalimat itu memberikan dampaknya yang buruk maka secara otomatis kalimat itu buruk. Karenanya, jangan mudah menyebarkan kalimat-kalimat tertentu, apalagi yang berhubungan dengan orang lain. Pikir secara matang, jika memang tidak ada dampak negatif, maka tebarkan kalimat-kalimat kebaikan agar kiranya yang membaca dan melihat terpengaruh dengan kebaikan yang ada dibalik kalimat-kalimat tersebut. Terlebih, menyebarkannya melalui media sosial secara luas.

Inilah salah satu ajakan Syekh Ahmad al-Damanhuri dalam kitabnya "Sabil al-Rasyad ila Naf’i al-‘Ibad". Tercatat Syekh al-Damanhuri memiliki nama lengkap Abu al-Ma’arif, Syihabuddin, Abu al-Abbas, Ahmad ibn  Abdul Mun’im ibn Yusuf ibn Shiam ad-Damanhuri al-Madzahibi al-Azhari. Beliau lahir pada tahun 1101 H atau 1689/1690 M di Damanhur  dan wafat pada 10 Rajab 1192 H/ 3 Agustus 1778. Ketenarannya sebagai pakar Fikih lintas madhab tidak datang begitu saja, tapi dimulai dari kondisi yang serba sulit sejak masa kecil sebab beliau terlahir dalam keadaan yatim. Iapun memutuskan merantau ke Kairo untuk belajar di tiang-tiang masjid al-Azhar.

Tekad ini yang kemudian ia manfaatkan betul dengan serius, walau hidupnya tidak berkecukupan. Baginya, menurut tafsiran penulis, bahwa tidak ada alasan untuk tidak belajar. Perubahan hidup jangan ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta, tapi harus dimulai dari tekad dan komitmen untuk belajar dan berubah. Singkat cerita, umur 10 tahun sudah mampu menghafal al-Qur’an dan Ambisi al-Damanhuri cukup kuat untuk mencari hingga mengantarkannya sebagai ilmuwan handal yang menguasai Fikih lintas madhab. Tekad, kemampuan dan kealiman ini yang mengantarkannya pada posisi penting di al-Azhar sebagai Grand Syekh yang kesepuluh dari 1182-1190 H/ 1768-1776 M. Beberapa gurunya yang ikut membentuk pengembangan intelektual al-Damanhuri adalah  Syekh Ali al-Za’tari, Syekh Salamah al-Fayumi, Syekh Ahmad Ibn Ghanim al-Nafrawi, Syekh Abd Al-Rauf al-Bisybisyi, Syekh Abd Al-Jawwad al-Marhumi, Syihabuddin al-Khulaifi, Syekh Abd al-Daim al-Ajhuri, dan lain-lain. Sementara para muridnya adalah Syekh Abd Allah al-Syarqawi, Syekh Abdu al-Hadi Naja al-Abyari, Syekh Ibrahim al-Maidani, Syekh Ibrahim ibn Musthafa al-Halabi, Syekh Ali al-Armanazi, Syekh Yusuf al-Ghazi, Syekh Daud al-Qal’awi, dan lainnya.


"Kalimat dalam Karya"

Kitab "Sabil al-Rasyad ila Naf’i al-‘Ibad" (Jalan Kebenaran Menuju Kemanfatan Hamba) selesai ditulis Syekh al-Damanhuri tahun 1165 H. Kitab ini adalah kumpulan kalimat-kalimat yang menjadi penyemangat pembacanya dalam memaknai hidup dan kehidupan, yang dinukil dari beberapa pandangan para Ahli, atau bisa dikatakan kitab ini adalah kumpulan Quotes para tokoh. Menariknya, sebagaimana disebutkan Syekh al-Damanhuri, Qoutes ini dinukil berdasarkan huruf hijaiyyah secara berurutan mulai huruf alif hingga ya’ dan terakhir ditutup dengan nukilan sabda Nabi Muhammad SAW serta perkataan para sahabat.

Di antara Qoutes dalam kitab ini misalnya:

قول المرء يخبر عما فى قلبه.

“Perkataan seseorang menggambarkan isi hatinya.”

طالب نفسك بإكرامك للناس ولاتطالبهم بإكرامهم لك، لا تكلف إلا نفسك.

“Tuntutlah jiwamu agar selalu memuliakan orang lain. Bukan sebaliknya, menuntut orang lain agar memuliakanmu. Jangan pernah anda memaksa kecuali pada diri anda.”

 

من عرف نفسه  لم يغتر بثناء الناس عليه.

“Jika seseorang  benar-benar mengenal dirinya, maka ia tidak akan tertipu oleh sanjungan orang lain.” 

Dan masih banyak lagi Qoutes dalam kitab ini. Intinya Qoutes disebutkan oleh Syekh al-Damanhuri bertujuan dalam rangka menjadi petunjuk atau “rasyad” bagi pembacanya agar larut dalam hidup penuh kemanfaatan, terlebih kemanfatan kepada orang lain.

Misalnya, qoute yang kedua sebagaimana disebutkan di atas yang artinya:  “Tuntutlah jiwamu agar selalu memuliakan orang lain. Bukan sebaliknya, menuntut orang lain agar memuliakanmu. Jangan pernah anda memaksa kecuali pada diri anda,” memiliki makna luar biasa bagi kita ketika berinteraksi dengan orang lain. Kita terkadang, karena hanya merasa hebat dengan status sosial yang tinggi atau kekayaan melimpah atau bahkan ilmu yang luas dan nasab darah biru, memaksa orang lain seenaknya untuk memuliakan, sementara kita sendiri tidak tergerak untuk memuliakannya. Maka, paksa diri sendiri untuk memuĺiakan yang lain, niscaya kita akan memperoleh kemuliaan. Bukankah Nabi Muhammad SAW mengajarkan dan meneladankan kepada umatnya untuk memuliakan dan membantu orang lain, bahkan kepada orang yang lain agama.

Akhirnya, kitab Syekh al-Damanhuri mengajak kita tentang pentingnya mencari kebaikan dari setiap makna yang bersembunyi dalam untaian kalimat-kalimat bijak. Sekaligus, menjauh sebisa mungkin menebar atau membaca atau bersikap kritis terhadap kalimat-kalimat negatif yang berpotensi mengantarkan kita semakin tidak manusiawi. Pastikan, setiap hari, setiap jam atau setiap menit dan atau bahkan setiap detik untuk membiasakan "konsumsi" kalimat baik, apalagi kalimat itu adalah al-Qur'an dan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan begitu, ia akan memantulkan kebaikan dan kebahagiaan dalam hidup.  


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.