AKHLAK DAN WAJAH PERADABAN BANGSA
Pada hari Ahad 17 Maret 2024, penulis sempat menghadiri diskusi di TVRI Jawa Timur dalam acara “Gema Ramadhan 1445 H” sebagai utusan dari PW GP Ansor Jawa Timur. Penulis tidak sendirian sebab dalam diskusi kali ini juga dihadiri oleh muballighah kondang Ibu Nyai Uci Nurul Hidayati. Kegiatan positif ini dilaksanakan setiap bulan Ramadhan yang mendapat dukungan langsung dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Karenanya, ia terus memantau kelancaran acara ini mulai awal hingga akhir sebagai bentuk komitmennya dalam membangun kultur keagamaan yang harmoni dalam spirit moderasi Islam.
Tema kali ini menarik berkaitan dengan “Tradisi Akhlakul Karimah”.
Menarik karena era semakin kesini, perkembangan akhlakul karimah (Baca: budi
pekerti) bisa dikatakan tidak baik-baik saja dengan fakta kejadian yang cukup
beragam baik kaitan dengan hubungan dan tanggung jawab dengan sesama, dengan
alam hingga dengan Allah SWT. Kita semua sadar, tanpa ada upaya perbaikan di
semua lini kehidupan, bisa dipastikan kondisi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara semakin sulit terkendali sebab setiap orang akan
bergerak tanpa batas, mengingat yang dipikirkan dan yang dilakukan lebih banyak
mengikuti hawa nafsunya.
Di sisi yang berbeda, perkembangan dunia medsos yang menjadi kebutuhan
hidup nampaknya ikut membantu bobroknya moralitas sosial di berbagai lini
kehidupan. Pasalnya, proses peniruan tanpa sengaja terjadi ketika seseorang
intens melihat hal-hal yang kurang elok di media sosial, baik IG, FB, youtube,
dan lain-lain. Apalagi, semakin sering dilihat, tontonan itu semakin hari
semakin dekat sebab akan selalu diingatkan setiap harinya dengan tayangan baru
yang substansinya sama. Karenanya, medsos ibarat pisau bermata dua
(double-edged sword), di satu sisi ia banyak membantu kebutuhan sehari-hari dan
di sisi yang berbeda iapun sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dengan
hadirnya konten-konten yang tidak mendidik dan sangat jauh dari keadaban publik
dalam bingkai budi pekerti.
Oleh karenanya, kebutuhan terhadap budi pekerti tidak bisa
ditawar-tawar, laksana kebutuhan manusia terhadap makan dan minum dalam setiap
harinya. Kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tanpa dipandu dengannya akan
memunculkan dekadensi moral yang sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Bukan
hanya itu, interaksi kita dengan Tuhanpun juga membutuhkan nilai-nilai budi
pekerti dalam rangka agar sifat kehambaan kita tetap terjadi secara utuh dan
penuh dengan keikhlasan. Mengingat ketika sifat kehambaan itu mulai redup, maka
akal sehat dan nurani mulai kurang bekerja secara sempurna sehingga mudah
diombang-ambingkan oleh nafsu.
Kita sebenarnya bangga, sebagai bangsa Indonesia, diuntungkan dengan
hadirnya nilai-nilai lokal warisan Wali Sanga yang cukup baik bila dikaitkan dengan budi pekerti yang baik.
Wali Sanga mampu secara adaptif dalam menyederhanakan nilai-nilai Islam akhlaki dengan menggunakan bahasa lokal, seperti
warisan ajaran Sunan Drajat yang masih cukup relevan untuk menjawab problem
sosial kekinian. Salah satunya adalah ajaran: “Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono
mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono
pangiyup marang wong kang kaudanan.” (Berikan tongkat kepada orang buta, berikan
makan kepada orang yang lapar, berikan pakaian kepada orang yang tak memiliki
pakaian dan berikan tempat berteduh bagi orang yang kehujanan).
Dengan begitu, maka tradisi budi pekerti adalah bagian dari proses
panjang dari pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara. Pada titik
tertentu pula, Islam di Nusantara memiliki keunikannya sendiri sebab mengalami
proses internalisasi dengan nilai-nilai lokal (local wisdom) sehingga
wajah moderasi dan toleransi banyak menjelma dalam praktik-praktik kebudayaan
Nusantara, termasuk bangunan Masjid, langgar atau surau di kota dan pedalaman
Nusantara.
Runtuhnya Bangsa
Majunya peradaban sebuah
bangsa memiliki kaitan dengan majunya budi pekerti. Artinya, ketika akhlakul karimah atau budi pekerti suram dalam sebuah bangsa,
maka sangat dimungkinkan bangsa itu akan mudah mengalami keruntuhan. Mengingat,
budi pekerti mengatur setiap individu
agar mengedepankan moral dalam semua interaksi kehidupan; mulai interaksi
dengan Allah SWT, interaksi bermasyarakat hingga interaksi dalam ruang
kehidupan berbangsa. Misalnya, dalam sebuah bangsa, ketika ketaatan penduduknya
berkurang, atau para pemimpinnya larut dalam budaya korup dan atau ketidak-adilan
sosial merajalela, maka keruntuhan sebuah bangsa akan menunggu waktu.
Untuk itu Penyair Mesir,
Ahmad Syauqi Bek pernah menyatakan dalam sebuah syairnya: wainnama al-umam
al-akhlaku ma baqiyat, fain humu dzahabat akhlakuhum dzhabu (Sesungguhnya
kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya. Jika pada mereka telah
hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) itu). Syair ini mengingatkan kita
semua betapa hubungan budi
pekerti dengan kondisi bangsa berkelindan dalam satu irama
yang sangat kental sehingga keduanya harus dijaga dengan baik.
Bila melihat sejarah dinasti
atau kerajaan yang pernah berjaya mengisi peradaban manusia, baik di Nusantara
maupun di dunia Arab, kita dapat memastikan bahwa keruntuhannya memiliki
hubungan erat dengan suramnya budi pekerti sebagai pandu dalam politik
kekuasaannya. Pertama, dinasti Abbasiyah atau kekhalifahan Abbasiyah. Kekhalifahan
ini adalah kekhalifahan ketiga yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullan ibn Abbas. Kekuasaan berlangsung cukup lama sekitar
tahun 132 H (750 M) hingga 646 H (1258 M).
Jasa kekhifahan Abbasiyah
cukup besar, khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dalam
dunia Islam. Pasalnya, proses penerjemahan karya-karya asing berlangsung cukup
baik, karya-karya keilmuan sangat dihargai, dan bahkan tradisi akademik mendapat
tempat yang cukup baik serta menjadi perhatian serius kekhilafahan ini. Karenanya,
di era ini banyak lahir ulama’-ulama kenamaan dalam berbagai bidang keilmuan,
misalnya Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbal, Ibn
Sina, al-khawarizmi, al-Ghazali dan lain-lain. Bahkan perkembangan dalam bidang
budaya, politik dan militer juga pernah dicapai oleh kekhalifahan ini sehingga
banyak memberikan inspirasi bagi sejarah peradaban dunia Islam pada masa-masa
berikutnya.
Namun, rentang perjalanan era
kekuasaan Abbasiyah yang sangat panjang ini harus diakui juga pernah mengalami
pasang dan surut. Salah satu penyebab runtuhnya dinasti Abbasiyah tidak lain disebabkan
oleh lemahnya kekuatan internal yang diakibatkan dari perpecahan masyarakat di
satu sisi dan di sisi yang berbeda ambisi elite penguasa yang sama-sama haus
kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini, banyak pihak memanfaatkan untuk menjatuhkannya,
termasuk tentara Mongol yang meraksek masuk kota Kurasan tahun 1257 M dan tahun
1258 M dinasti Abbasiyah yang pernah mengalami masa keemasan akhirnya lulu
lantah seiring lulu-lantahnya peradaban keemasan.
Sungguh masyarakat dan
pemimpin era Abbasiyah yang sudah tidak mengedepankan budi pekerti dalam berbangsa menjadi
sebab terjadi konflik internal. Bahkan konflik ini mengantarkan disintegrasi era
kekhalifahan ini terancam sebelum mendapat serangan dari luar, Mongol. Maka, keruntuhan
Abbasisyah tidak lepas dari faktor lemahnya internal seiring dengan hilangnya budi pekerti sebagai panduan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara yang kedua,
kerajaan Majapahit di Nusantara. Kerajaan terbesar pada eranya berdiri abad ke
13 di mana kekuasaannya terbentang di Nusantara dan sekitarnya; mulai Jawa,
Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina (Kepulauan Sulu), Manila (Sanudung),
Sulawesi, Papua dan lainnya. Sebagaimana Abbasiyah, Majapahit juga pernah
mengalami masa-masa keemasan, khususnya pada era Hayam Muruk yang bergelar Sri
Rajasanegara dengan patihnya yang juga dikenal, yaitu Gajah Mada.
Namun, pasca Hayam Muruk,
kerajaan Majapahit mengalami titik kelemahan akibat konflik internal sehingga
wilayah-wilayah kekuasaannya banyak memerdekakan diri dari hegemoni Majapahit. Di
samping itu, konflik perebutan kekuasaan terjadi dimulai dari turunan Hayam
Muruk, baik anak dari istri atau selirnya, yaitu antara Wikramawardhana dan
Wirabhumi (anak dari selirnya). Konflik keduanya dikenal dengan Perang Regreg,
yang dimenangkan oleh Wikramawardhana dan Wirabhumi akhirnya dihukum mati.
Konflik seperti ini juga berimpas
hilangnya kepatuhan daerah-daerah yang menjadi kekuasan Majapahit. Bahkan konflik
terus terjadi, dan tidak ada tanda-tanda akan berakhir, walau pernah akan
bangkit pada era kepemimpinan Ratu Suhita, tapi memang sulit mengembalikan era
keemasan Majapahit. Intinya, dari hari ke hari kekuasaan Majapahit melemah dan terus
banyak daerah-daerah memerdekakan diri sehingga moralitas tidak bisa
dikendalikan. Posisi ini, mengantarkan kerajaan Majapahit dengan mudah diruntuhkan
oleh kesultanan Demak, khususnya pada era kepemimpinan Sultan Trenggana
(1521-1546).
Dari dua cerita dinasti
dan kerajaan ini, kita bisa belajar betapa pentingnya budi pekerti itu sebagai pandu dalam
kehidupan berbangsa. budi pekerti dalam konteks berbangsa menjadi penting
agar tercipta kesepahaman bahwa kepentingan umum harus diletakkan di atas, di
bawahnya adalah kepentingan pribadi. Konfik internal dinasti atau kerajaan
terjadi sebab setiap individu sulit menghentikan ambisinya untuk berkuasa, dan
nafsu berkuasa itulah yang mematikan nalar pimpinannya untuk berfikir
kepentingan lebih besar.
Akhirnya, mari rawat budi pekerti sebab dengan cara ini kita
bisa menyelamatkan bangsa ini. Ambisi kekuasaan, korupsi, dan politik culas adalah
salah satu dari sekian praktik yang bertentangan dengan budi pekerti; tepatnya budi pekerti menjadi pemimpin dalam
sebuah bangsa. Karenanya, semua anak bangsa memiliki tanggung-jawab bersama,
bukan hanya menyuarakan pentingnya budi pekerti, tapi juga mempraktikkannya
dalam ruang keluarga, masyarakat dan konteks kehidupan berbangsa. Semoga perjalanan kepemimpinan bangsa di semua lini yang barusan terpilih memiliki tekad untuk memegang nilai-nilai yang sesuai dengan budi pekerti kebangsaan sehingga melahirkan kebijakan yang populis penuh kemaslahatan.
Leave a Comment