MBAH WIJIL KETINTANG
Wasid Manyur
Aktivis Sarkub dan Pemerhati Sejarah Tokoh
Rutinan
setiap bulan Sya'ban
(mepet-mepet Ramadhan) mengunjungi
makam orang tua, guru, atau
para penyebar Islam
sengaja penulis lakukan dalam rangka niat tabarukan mengikuti jejak yang diteladankan oleh Maha
Guru Pondok Pesantren al-Khoziny, Allah Yarham Romo KHR Abdul Mujib Abbas, dimana setiap Sya’ban selalu menyempatkan diri berziarah
ke leluhurnya start Buduran, Prasung hingga Lasem. Karenanya, penulis sengaja menggunakan istilah “megengan” untuk memudahkan sebagaimana
beragam acara “megengan” dilakukan oleh Muslim Nusantara mendekati bulan
Ramadhan.
Pada megengan yang kelima, penulis berziarah ke makam Mbah
Wijil Ketintang yang nama lengkapnya Sayyid Wazir ibn Ayu. Pilihan makam ini disebabkan
areanya dekat dengan kampus UIN Sunan Ampel, mempertimbangkan waktu sekaligus
mengambil kosongnya waktu setelah aktivitas kampus tuntas. Lengkapnya, makam
Mbah Wijil berada di Jalan Ketintang Barat II, Karah Kec. Jambangan Surabaya,
Jawa Timur 6022. Cukup 18 menit perjalanan dari Wonocolo menuju makam dengan panduan
google maps.
Berdasar dengan tulisan yang ada di area makam, Mbah
Wijil tercatat sebagai turunan Arab marga Basyaiban sehingga disebutkan Mbah Wijil
adalah Sayyid Wazir ibn Sayyidah Ayu binti Sayyid Sulaiman bin Abdurrahman
Basyaiban dan termasuk keturunan ke-26 sampai ke Nabi Muhammad SAW. Penulis tidak
mau terlalu detail membincangkan nasab ini, untuk menghindari perdebatan yang
masih ramai kaitan dengan “pernasaban”, apalagi perdebatan itu sudah mengarah
para claim kebenaran. Yang satu mengatakan benar, sementara yang lain juga tidak
mau kalah, apalagi menyerah. Perdebatan yang berlebihan berpotensi kurang
mengindahkan sisi substansi dari tokoh yang dimaksud, padahal hal ini sangat
penting dalam rangka agar kita bisa meneladani perjuangan yang dilakukan.
Penulis tidak pernah tahu siapa sebenarnya Mbah Wijil. Tapi,
penulis pernah ditelpon tetangga yang mengabarkan bahwa cucunya menangis mulai
pagi sampai malam. Ia meminta bantuan agar kiranya cucu itu disuwuk sehingga
menangiskan berhenti. Sebanarnya, penulis ya tidak ahli-ahli betul kaitan persuwukan,
hanya sebagai kolektur kitab-kitab tabib yang sudah diijazahkan oleh kiai-kiai
sepuh yang ahli dalam bidang ini. Penulispun, tidak mau panjang-panjang, menyanggupi
permintaan dan akan datang kerumahnya. Seketika itu, biar tidak repot membuka
kitab-kitab tabib, penulis sengaja iseng mengirim pesan pendek melalui WA kaitan
hal ini ke Kiai Tajul Mafahir al-Ishaqi Probolinggo, putra Kiai Usman al-Ishaqi.
Ternyata, WA iseng itu dibalas dengan serius oleh Kiai
Tajul dengan mengijazahi suwuk anak nangis (kejinan: Baca) dengan membaca
al-Fatihah x 11 dengan wasilah, salah satunya kepada Mbah Wijil. Penulis langsung
menjawab melalui pesan WA juga, “Qobiltu, maturnuwun Kiai.” Menariknya, ketika
mau berangkat, penulis sengaja kirim fatihah ke Mbah Wijil, ternyata tak disangka-sangka
ada pesan di WA bahwa anak kecil yang nangis mulai pagi sampai malam itu
sembuh. Kakeknya, mengucapkan terimakasih doanya ustdz. Dalam hati, looo kok
bisa ya belum disuwuk sudah sembuh. Suwuk ini yang kemudian semakin bikin penasaran,
mengapa harus wasilah dengan Mbah Wijil agar dikirimi fatihah sebelum nyuwuk
anak nangis?. Sejak itulah, penulis mulai mencari jejak Mbah Wijil ke
mana-mana, termasuk melalui mbah google.
Ternyata, dari info-info yang beredar Mbah Wijil dikenal
sebagai Sang Penakluk Jin; sebuah keahlian unik pada eranya sehingga selalu
menjadi tempat curhat masyarakat dan menjadi sarana berdakwah. Alkisah
menyebutkan:
“Mbah Wijil yang asalnya dari
Ndresmo kedatangan tamu dari Ketintang, sekarang desa itu masyhur disebut. Tamu
itu datang dalam rangka agar Mbah Wijil dapat memberikan solusi atas problem
masyakat Ketintang yang terkena "Pagebluk", wabah penyakit yang
menyerang dengan skala jangkauan yang luas atau epidemi dalam istilah
modern. Atas
permintaan itu, Mbah Wijil menyanggupi datang
untuk menghindari agar korban tidak semakin berjatuhan.”
“Akhirnya, ia datang sesuai dengan waktu
yang ditentukan dengan melakukan ritual khusus. Di tengah ritual itu, datanglah jin-jin
jahat menganggu dan merusak konsentrasi, walau akhirnya para jin itu takluk dan
lari terbirit-birit. Tidak mau kalah, dilibatkanlah Ratunya jin untuk bertarung
dengan Mbah Wijil, walau akhirnya semuanya takluk. Dari sini, penyakit pagebluk
ini hilang dan masyarakat merasakan bahagia atas bantuan Mbah Wijil. Pohon yang menjadi markas Ratu jin itu sampai
sekarang masih ada.” Jika ingin lengkap cerita ini, bisa lihat: https://youtu.be/5sIeyjM0O-U?feature=shared
Dari cerita ini, penulis mulai memahami bahwa dengan wasilah
mbah Wijil, berharap Allah SWT mengabulkan doa seiring dengan pertimbangan
bahwa beliau adalah salah satu kekasihNya. Memang, banyak suwuk atau doa tertentu
dilakukan dengan berwasilah dengan orang-orang tertentu sebab suwuk atau doa
itu memiliki hubungan yang sangat spesialis, sebagaimana suwuk anak nangis kejinan
dengan wasilah Mbah Wijil.
Akhirnya, bagi mereka yang ingin mengaca diri, sekaligus berwasilah “megengan” jelang Ramadhan, maka jadikan Makam Mbah Wijil sebagai tujuan agar kiranya kita bisa belajar tentang kesejatian sebagai manusia, yang totalistik menghamba kepada Allah, di samping ikut memberikan solusi atas problem kemanusiaan. “Jangan pernah mengatakan anda sholeh, ketika anda terbiasa menjadi perusuh di tengah masyarakat.”
Leave a Comment