Hadirkan (kembali) Spirit Kemerdekaan
Tanggal 17 Agustus merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan bangsa. Pasalnya ditanggal ini tahun 1945, melalui keberanian anak-anak bangsa, yang diwakili Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta, akhirnya bangsa ini bisa memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Tanpa harus menunggu “janji palsu” penjajah –tepatnya janji Jepang-- yang akan memberikan kemerdekaan.
Secara historis, memang proklamasi ini tidak secara otomatis menghentikan peperangan. Tapi menjadi babak baru bagi bangsa ini untuk tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan, mengingat para penjajah belum sepenuhnya legowo untuk hengkang dari bumi Indonesia.
Letupan dahsyat terjadi ditahun yang sama, pasca kemerdekaan, yakni pertempuran yang dahsyat khususnya di Surabaya –yang puncaknya pada tanggal 10 November 1945—hingga merembet semangat perlawanan itu ke beberapa daerah di Indonesia. Karena memang, para penjajah sudah nyaman menikmati –sekaligus mengeploitasi—hasil bumi Indonesia yang sangat melimpah dibandingkan negaranya sendiri.
Oleh karenanya, untuk mengenang semangat perjuangan itu, maka setiap memasuki bulan agustus, serentak masyarakat memperingati dengan beragam kegiatan; mulai mengecat berem, memasang bendera merah putih di halaman rumah, gedung perkantoran dan bahkan dijalan-jalan juga diramaikan bendera serta pernak-pernik merah putih. Belum lagi beraneka ragam perlombaan yang disuguhkan.
Semua dilakukan dalam rangka meramaikan Dirgahayu Republik Indonesia yang sekarang sampai pada peringatan ke-77, sekaligus sebagai upaya mensyukuri rahmat kemerdekaan yang telah dijalani. Walau dalam konteks tertentu, refleksi hakekat kemerdekaan perlu dilakukan secara serius, setidaknya menanyakan kembali inti kemerdekaan dalam konteks kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika dulu, upaya merebut kemerdekaan bertujuan agar bangsa ini bebas mengelola negaranya sendiri, termasuk mengelola alam sebab dengan begitu kesejahteraan akan lebih nyata. Pasalnya, sebagai bangsa terjajah –ketika itu--. gerak gerik anak bangsa diawasi, ekspresi melakukan aktivitas keagamaan dan pendidikan dibatasi dan dihegemoni untuk kepentingan penjajah. Parahnya, dalam konteks ekonomi, anak bangsa menjadi buruh di negeri sendiri dengan tanam paksa, dan lain-lain.
Lantas, akankah sampai hari ini kita benar-benar merdeka? Bukan hanya merdeka dari penjajahan fisik. Jika dikaitkan dengan masih maraknya penyakit sosial yang terus terjadi, misalnya korupsi, anak putus sekolah, kekerasan atas nama ras, prilaku intoleran kepada yang lain, maraknya hoak dan lain-lain, yang semuanya bila direnungkan dengan sepenuh hati betul-betul bertentangan dengan hakikat sesungguhnya dari spirit kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Komitmen
Berkontribusi
Sebagai bentuk refleksi atas peringatan tahunan ini, mari momentum 17an kali ini dijadikan pemantik untuk menggugah sejauh mana kontribusi kita bagi bangsa ini. Kontribusi harus diawali dengan ketulusan jiwa untuk menempatkan kemaslahatan umum di atas kemaslahatan pribadi atau kemaslahatan bangsa harus di atas kemaslahatan individu, kelompok, bahkan partai politik.
Kaedah “idza ta’aaradhat maslahatani quddima al-anfa’ minhuma”, jika ada dua kemaslahatan bertentangan maka yang lebih bermanfaat harus didahulukan, layak menjadi landasan berpikir. Sebut saja misalnya, maraknya korupsi, bukan pelakunya tidak mampu secara ekonomi, tapi ia lebih mementingkan kemaslahatan diri dan keluarganya, tanpa berpikir tindakannya bermudharat pada yang lain.
Termasuk, masih munculkan sikap intoleransi, baik di dunia nyata atau di dunia maya, sejatinya juga bertentangan dengan spirit kemerdekaan yang lahir dari semangat persatuan dan kesatuan anak bangsa. Tidak ada kemerdekaan terjadi, ketika itu, tanpa adanya persatuan anak bangsa dari berbagai suku, agama dan ras. Semuanya berkeinginan sama, “hidup mulia atau mati sebagai syahid” (‘isy kariman, aw mut syahidan).
Dengan begitu, maka kita harus menjadi garda terdepan untuk berbuat apapun yang lebih bermanfaat bagi bangsa ini. Pastinya, dengan pola pikir untuk kemaslahatan bangsa. Hindari sikap-sikap yang merugikan orang lain, dan tebarkan selalu kepedulian kepada sesama sebab jika tidak berarti kita belum mampu memerdekakan diri kita dari nafsu “kepuasan’ diri sendiri.
Yang menjadi politisi atau penguasa, mari menjadi politisi dan penguasa yang tidak korup dengan menghadirkan kebijakan yang manfaat bagi rakyat. Yang menjadi pelaku usaha, mari juga berpikir untuk orang lain, bukan hanya keuntungan dirinya sendiri. Yang menjadi dosen atau guru, mari gunakan aktivisnya untuk menjadi dosen atau guru yang memberikan teladan dalam karya dan akhlak al-Karimah.
Yang menjadi pekerja juga, mari menjadi pekerja yang terbaik dengan kerja-kerja produktif, bukan sekedar takut di depan bosnya. Yang aktif di media sosial, mari jadikan media sosial untuk menebarkan konten-konten yang bermanfaat, bukan konten yang mengandung hoak dan provokasi. Atau aktivitas apapun kita lakukan, mari gunakan sebaik-baiknya untuk berbuat yang terbaik untuk orang lain dan bangsa. Jika tidak, minimal diam untuk tidak melakukan kemudharatan.
Dengan kesadaran ini, penulis yakin, para pendiri bangsa akan bangga melihat apa yang kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini. Semuanya kontribusi ini harus dimulai dari komitmen diri sendiri, lantas bergerak mengajak yang lain sehingga melahirkan “gerakan kolektif” untuk merawat nilai-nilai kebangsaan di satu sisi dan menghadirkan kejahteraan semesta di sisi yang berbeda. Semoga kita semua merdeka; merdeka dari upaya menghamba pada kepuasan diri sendiri, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
*gambar dikutip dari https://www.kibrispdr.org/gambar-animasi-kemerdekaan-indonesia.html
Leave a Comment