RADIKALISME PERUSAK SESAJEN, PEMANTIK DISHARMONI
Dosen Fahum UINSA, dan Aktivis PW GP Ansor Jatim
Karenanya, para aktivis bahsul masail Jawa Timur ikut mengomentari prilaku pemuda bermental radikal ini, walau sebenarnya lebih banyak membahas kaitan hukum tradisi sesajen dengan beragam pendapat ulama sebagaimana ramai di media sosial. Tapi, setidaknya penjelasan fikih ikut membantu menjadi pintu masuk agar semua pihak harus hati-hati memberikan keputusan hukum, apalagi mudah mengkafirkan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi, seperti Sesajen.
Dalam konteks ini, penulis tidak akan mengomentari Sesajen, tapi lebih banyak bicara soal cara anak muda ini memberlakukan sesuatu yang berbeda dengan kacamata pengetahuan sempit yang berujung memilih tindakan intoleran. Padahal, tindakan yang dilakukan sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam, sekaligus nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, khususnya kaitannya dengan perlunya sikap ramah dan harmoni dalam merawat keragaman.
Problem Radikalisme
Ada
problem yang kurang tepat, untuk tidak mengatakan salah, dilakukan pemuda tadi, bahkan menjangkit generasi milenial yang terpapar
radikalisme.
Pertama, Islam tidak hanya mengajarkan hitam putih dalam melihat persoalan.
Jika yang hitam dipandang salah, misalnya, maka kita diajarkan untuk tidak
menvonis salah selamanya, termasuk dilarang menghina hingga melaknat. Bukankah, tidak sedikit orang yang larut dalam kemaksiatan,
seiring perjalanan waktu mendapat hidayah dari Allah sehingga menjadi shohih
hingga akhir hayatnya.
Jika tradisi Sesajen, misalnya dianggap salah, apalagi dalam konteks tertentu secara fikih dan dengan tata cara tertentu ada yang memperbolehkan, maka semestinya siapapun orangnya tidak diperkenankan menggunakan cara-cara yang kurang biadab, mulai merusak, menghina hingga melaknat pelakunya. Pasalnya, merusak tradisi orang lain yang turun temurun dilakukan, sama dengan menghina sistem nilai yang diwariskan dari para leluhurnya sehingga sangat menyakitkan.
Dalam
konteks ini, perkataan Nabi Muhammad Saw mestinya
menjadi pijakan kaitan hubungan antar sesama. Beliau
mengatakan: “tidak patut bagi orang Mukmin menjadi individu
yang suka melaknat (yang lain)”. Karenanya,
tidak ada alasan pembenar bagi anak muda yang membuang Sesajen, kecuali berdasar
pada teologi takfiri yang dianutnya sebab takbir yang diucapkan hanya dibuat
legitimasi pembenar untuk mensyirikkan dan mengkafirkan yang berbeda.
Sementara, kedua, tindakan intoleran yang dilakukan pemuda tersebut berpotensi memecah belah hubungan antar anak bangsa yang lama terbangun dalam semangat kebhinnekaan. Pasalnya, sekali perusakan tradisi orang lain yang dilakukan secara turun temurun, maka sangat memungkinkan konflik horizontal terjadi sebab tradisi dilakukan memiliki irisan panjang dengan kearifan lokal (local wisdom). Apa yang dilakukan pemuda adalah potret intoleransi yang sangat menyesakkan batin kebangsaan kita yang tumbuh dalam keragaman suku, agama dan ras.
Untuk itu, penulis meyakini cara-cara dakwah para ulama atau kiai terdahulu dengan ramah dan toleran adalah cara yang terbaik sebab jika cara-cara anarki atau intoleransi yang menjadi pilihan, penulis memastikan tidak ada semangat keislaman dan kebangsaan yang dirasakan penuh damai dan harmoni sebagai mana di alami saat ini. Karenanya, para kiai memilih strategi dakwah dengan senyum dan meneladani kebaikan, bukan dengan amarah dan menghakimi yang berbeda.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip perkataan Abdullah ibn Umar, yang artinya: “Hamba Allah yang dibenci adalah mereka yang suka mencerca orang lain dan suka melaknatnya”. Ungkapan yang layak menjadi renungan bersama di awal tahun ini agar kualitas keimanan seseorang tidak hanya diukur dari formalisme semata, mengabaikan substansi keimanan dengan keharusan pemeluknya untuk terus berusaha tidak terlibat dalam tindakan yang mengarah pada disharmoni sosial.
Jadi, perusak Sesajen, baik membuang atau menendangnya, adalah pemantik disharmoni. Pelakunya sedang terjangkit cara-cara radikalis-takfiri sehingga dalam berdakwah selalu memilih jalan “merusak’ dengan narasi kafir dan syirik, dari pada jalan “memperbaiki” dengan narasi dialogis dan harmonis. Karenanya, sudah saatnya semua kembali menyuarakan tanpa henti cara-cara dakwah yang moderat dan toleran agar kiranya kedamaian terus bersemai dan semua bisa hidup dalam kebersamaan, walaupun berbeda-beda. wallahul muwaffiq ila ahsanil umur
Leave a Comment