HABIB ASA BAFAQIH: JURNALIS DAN NASIONALISME KETURUNAN ARAB
Dosen
Studi Islam pada International Undergraduate Program, ITS Surabaya
Muhamad Ali (2014: 53) dalam Nationalism and Islam: Perspective of
Egyptian and Syrian Muslim Intellectuals sebagaimana mengutip pendapat
William L. Cleveland menegaskan bahwa nasionalisme mengacu pada perasaan,
gagasan, atau gerakan sebagai bagian dari suatu bangsa (rakyat). Di Indonesia
ada para Habib, gelar untuk keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Sayyiduna
Husain RA putra Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra RA. Mereka memiliki nasionalisme
serta peran dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, di
antaranya Habib Asa Bafaqih.
Laki-laki yang senang menggunakan kaca mata tebal ini lahir di Tanah
Abang, Jakarta tahun 1915. Dalam dunia jurnalis, pria yang akrab dipanggil Wan
Asa ini termasuk angkatan pertama, satu angkatan dengan BM Diah, Rosihan Anwar
dan Muchtar Lubis. Demikian penjelasan Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan
(2014:183) dalam Antologi NU Buku II; Sejarah – Istilah – Uswah. Tidak banyak
habib sebagai jurnalis seperti Wan Asa.
Pria berpostur tinggi ini adalah keturunan Rasulullah SAW dari marga “Bafaqih”. Menurut Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syatiri (t.th: 154) dalam al-Mu’jam al-Lathif menegaskan bahwa marga “Bafaqih” adalah keturunan dari Habib Abdullah dan Habib Abdurrahman bin Muhammad Maula Aidid. Diberi gelar “Bafaqih” karena ayah keduanya, yaitu Habib Muhammad Maula Aidid dikenal sebagai ahli fikih.
Berjuang Melalui Jurnalisme
Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2014:183) menceritakan bahwa
sejak usia muda Wan Asa memiliki kesenangan menulis. Ia tekun menerjemahkan
surat kabar berbahasa Arab milik orang tuanya sehingga dikirim ke Surat Kabar Pemandangan
di Senen Raya.
Pada saat itu, Pemandangan adalah Surat Kabar Islam yang
lumayan besar dan berpengaruh dalam menebar pesan-pesan Islam. Wan Asa juga
suka mengirim artikel kepada majalah mingguan Pandji Islam yang terbit di Medan
yang dipimpin oleh Zainal Abidin Ahmad dan AR Hadjat, sehingga dinobatkan
sebagai redaktur wilayah Jawa.
Jika Wan Asa memiliki kemampuan Bahasa Arab dengan baik, maka
masyarakat sekarang juga bisa mempunyai kemampuan terhadap bahasa tersebut
ditambah dengan bahasa Asing lain seperti Bahasa Inggris. Jangan sampai ketika
sudah terlanjur dan diangkat sebagai penceramah tidak bisa berbahasa Arab sama
sekali, maka sangat kacau. Bayangkan, betapa malu jika sudah menggunakan surban
dan gamis putih namun tidak memiliki kemampun dalam penyusunan akar kata (tasyrif).
Kegigihan Wan Asa dalam menyampaikan gagasan segar di Surat Kabar
Islam dapat dicontoh, sehingga kita bisa produktif untuk menulis dalam rangka
menebar manfaat terutama penguatan Islam Ahlu al-Sunah wa al-Jamaah (ASWAJA) serta
nasionalisme. Banyak media sebagai wadah untuk menyebarkan ajaran moderat,
tidak liberal dan radikal, salah satunya harakatuna.com ini.
Ketika penjajahan Jepang, Wan Asa sebagai Redaktur Pemandangan,
walaupun pada akhirnya dilarang menerbitkan tulisan ke publik. Lalu ia
bergabung dengan kantor berita jepang, Domei serta sebagai redakturnya (Soeleiman
Fadeli dan Mohammad Subhan, 2014:183).
Walaupun dilarang untuk menerbitkan tulisan, Wan Asa tetap semangat,
sehingga menginspirasi kita untuk memiliki motivasi tinggi dalam berjuang melalui
tulisan terutama untuk menangkal radikalisme, terorisme dan komunisme yang
dapat merusak tatanan kehidupan beragama dan berbangsa. Berdakwah melalui
tulisan sebagai pilihan bagus selain ceramah, mengingat kaum sebelah juga sudah
banyak menulis untuk meneguhkan idenya dan menyerang keyakinan kita.
Habib dan Nasionalisme
Pria bertubuh ramping ini terkenal dengan sikap ramah dan mudah
menjalin pergaulan dengan berbagai elemen masyarakat. Ia senantiasa memiliki
modal untuk mencairkan suasana dengan gaya cerita. Wan Asa senantiasa hadir di
semua pertemuan Nahdlatul Ulama (NU), meskipun tidak pernah memperoleh undangan
dalam rapat resmi tapi tanpa ada orang yang merasa terganggu dengan
kedatangannya (Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, 2014:185).
Sikap ramah yang dimiliki Wan Asa kepada semua orang tentu meniru akhlak
Rasulullah SAW terhadap sahabat maupun orang yang memusuhinya. Di zaman sekarang,
Wan Asa mengajarkan kita untuk tetap bersikap teduh, berwajah ramah, bernada
rendah dan berdiksi lembut.
Dalam Biografi Habib ‘Ali al-Habsyi Muallif Simtud Durar
sebagaimana diterjemahkan oleh Habib Novel bin Muhammad al-‘Aidarus dan Habib
Abu Abdillah al-Husaini (2010: 26) diceritakan bahwa Habib Muhammad yang
tinggal di Mekkah khawatir tentang pendidikan anak-anaknya di Hadhramaut
termasuk Habib ‘Ali bin Muhammad al-Habsyi. Demikian para habib yang sangat
hebat dalam mendidik generasi unggul agar memiliki silsilah ilmu dan akhlak
yang bersambung hingga kakek mereka, Rasulullah SAW.
Kecintaan Wan Asa kepada NU, organisasi yang memiliki semangat
nasionalisme kepada Indonesia, dibuktikan dengan selalu datang di rapat
meskipun tidak diundang. Wan Asa mengajarkan bahwa tidak ada gengsi dalam berorganisasi,
padahal dirinya adalah seorang habib yang tentu dihormati dan dicintai oleh
masyarakat dengan budaya NU.
Saat Partai NU membentuk Surat Kabar Duta Masyarakat pada tahun
1954, pria berambut keriting yang selalu rapi ini diangkat sebagai pemimpin
redaksi yang pertama. Wan Asa bergabung dengan NU di bawah Rais Aam PBNU KH. Abdul
Wahab Hasbullah sesudah dikenalkan oleh Ketua Umum Jam’iyatul Khair Habib Dr.
Abdurrahman Shihab (Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, 2014:185).
Nasionalisme Wan Asa terus membara dengan bersedia sebagai komandan
Surat Kabar yang berhaluan NU, karena organisasi yang sangat menghormati keturunan
Rasulullah SAW ini mengajarkan untuk mencintai, membela dan mempertahankan
tanah air. Jika ada perang, bagaimana mungkin kita akan tenang beribadah dengan
model ajaran ASWAJA di Indonesia?
Menurut Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan (2014:185), Wan Asa
bersedia sebagai anggota DPR GR wakil NU tahun 1968. Sebagai wakil rakyat,
jurnalis dengan kumis yang dipotong rapi ini tentu berusaha sekuat tenaga untuk
memperjuangan aspirasi masyarakat terutama berkaitan dengan Islam ASWAJA dan
nilai-nilai cinta tanah air. Wallaahu a’lam.
Leave a Comment