MEMAKNAI SATU BARISAN DAN KEMANDIRIAN GP ANSOR
Wasid Mansyur
Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa
Timur
Namun, tema Konbes Ke XXIII “Ansor
Satu Barisan; Menuju Kemandirian Organisasi” tetap menarik untuk direfleksikan
dalam konteks khittah gerakan sebagaimana diwariskan oleh para pendirinya, yang
nota benenya adalah tokoh-tokoh muda NU.
Refleksi dengan mengaitkan kondisi kekinian di satu sisi dan kondisi awal
berdirinya GP Ansor di sisi yang berbeda memastikan agar semua gerakan GP Ansor
hari ini tidak terputus dari mata rantai ideologis pendirinya.
GP Ansor bukan hanya aset NU sebagai
proses kaderisasi dan pelanjut estafet, tapi juga aset bangsa dalam konteks
generasi muda yang tetap setia --sejak awal berdirinya-- peran dan kontribusinya
mengawal dan bergerak meneguhkan semangat ideologis, yakni terus membumikan keislaman dalam kemajemukan dan kebangsaan
dalam harmoni.
Hanya saja, tantangan
berorganisasi dalam setiap proses berorganisasi semakin besar. Bukan saja harus
berkontestasi dengan kelompok lain yang selalu “nyinyir’ dengan peran dan pengabdian
GP Ansor bagi bangsa, tapi juga harus terus melakukan koreksi internal di tengah
pragmatisme kehidupan --khususnya tarikan kuat politik— yang sering menjerat
kemandirian berorganisasi.
Satu Dalam Gerak
Bergerak dalam organisasi GP
Ansor adalah pergerakan penuh pengabdian. Bagaimana tidak pengabdian, kader-kader
Ansor dan banser banyak ditemukan harus bergerak tengah malam, tak mengenal jam
dan tempat. Bahkan seringa harus meninggalkan keluarga berhari-hari sekedar
dalam rangka memantau dan memantapkan, sekaligus memastikan bahwa proses kaderisasi tetap berjalan
dalam spirit juang Aswaja, yang ditafsirkan oleh para kiai-kiai NU (baca:
Aswaja al-Nahdliyah).
Berpijak pada tema Konbes, adalah
dua hal yang penting menjadi renungan bersama bagi semua kader di selurus Nusantara.
Pertama, prinsip satu barisan. Satu barisan adalah satu komando, yakni gerak
satu intruksi dalam ruang pengabdian sehingga tidak ada pergerakan yang
terpatah-patah, untuk tidak mengatakan bergerak sendiri-sendiri.
Memang menyatukan semangat satu
komando adalah perlu kesadaran dan kebersamaan luar biasa dari semua kader sebab
tantangan isu yang dihadapi di berbagai tempat berbeda-beda sehingga perlu
disikapi dengan cepat dan strategis, misalnya antara pusat dan wilayah atau
antara satu cabang dengan yang lain. Karenanya, koordinasi setiap gerakan menjadi
kunci agar apa yang dilakukan dipahami dan dikawal bersama-sama baik di dunia
nyata maupun di dunia maya.
Bergerak tidak dalam satu komando
akan mudah dipermainkan dan dimanfaatkan pihak lain, terlebih mereka yang sejak
awal tidak senang dengan kehadiran GP Ansor. Lebih dari itu, bisa dijadikan media
untuk mengadu domba atas semua kader. Karenanya, koodinasi dan mudah bertabayun
akan menjadi jalan proses pengabdian tetap dalam bingkai satu komando.
Sementara kedua, kaitan dengan kemandirian. Kemandirian adalah kesadaran bergerak sendiri menentukan gerak, tanpa ada perasaan tersandera oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan GP. Ansor. Artinya, kemandirian pergerakan dalam konteks mengawal prinsip ideologis tetap saja berada dalam spirit khittah, yang berkoneksi dengan pergerakan ideologis NU sebagai induk organisasi sebab memang sejak awal kelahiran GP Ansor, dengan Bansernya, tidak bisa lepas dari NU sehingga pengawalan ulama atau kiai adalah keniscaraan yang tidak bisa ditawar-tawar sebagai bentuk pengabdian organisasi.
Di samping itu, kemandirian adalah bentuk perlawanan atas pragmatisme sesaat. Artinya, jangan kemudian kepentingan pragmatis jangka pendek, misalnya urusan politik, harus mengorbankan kepentingan besar GP Ansor untuk tetap istiqamah mengabdi pada Ulama, merawat nilai-nilai Aswaja al-Nahdliyah dan istiqamah menjaga NKRI. Selebihnya, kemandirian bisa dilakukan dengan prioritas pada penguatan ekonomi kader mulai pusat, wilayah, dan cabang, dan anak cabang. Memang tidak mudah, tapi perlu dilakukan tanpa henti dan tetap istiqamah.
Akhirnya, selamat berKonbes, semoga melahirkan putusan strategis bagi penguatan internal organisasi GP Ansor, khususnya kaderisasi, sekaligus penguatan pada prinsip pengabdian dalam garis khittah perjuangan para kiai, yakni merawat dan menjaga amaliah Aswaja al-Nadliyah, sekaligus nilai-nilai kebangsaan dalam bingkai NKRI. Amin...
Leave a Comment