MENJADI SOSOK “IBRAHIM” DI TENGAH PANDEMI
Wasid Mansyur
Dosen FAH UIN
Sunan Ampel Surabaya
Umat Islam di seluruh dunia larut dalam ritual tahunan berupa perayaan Idul Adha, termasuk di Indonesia. Ritual tahunan yang penuh makna bagi kehidupan manusia dalam bingkai peradaban kemanusiaan, yang telah diwariskan oleh Nabi Ibrahim AS. kepada umat manusia di seluruh jagat. Karenanya, momentum ini jangan dilewatkan begitu saja. Spiritnya harus menjadi pemantik agar kita terus melakukan perubahan jati diri menjadi lebih baik sebagai manusia yang dibekali akal dan hati, baik perubahan dari dimensi vertical (Ketuhanan) maupun dimensi horizontal (kemanusiaan).
Nabi Ibrahim sebagai tokoh sentral
telah memberikan banyak contoh bagaimana pentingnya totalitas dalam kehidupan. Totalitas
akan melahirkan makna yang lebih luas sebab bukan hanya berorientasi pada kemaslahatan
fardiyyah dengan puas mengikuti perintah Allah dan laranganNya, tapi
juga kemaslahatan ammah. Sederhananya, tolak ukur totalitas itu adalah
sejauh mana ibadah personal berimbas menghadirkan kepedulian kepada alam,
terlebih manusia.
Totalitas Nabi Ibrahim sangat
penting dipotret sebab dengannya bapak para nabi ini dikenal dengan sang “Kholilullah”
(kekasihNya). Pastinya, penyematan nama Kholilullah kepada Nabi Ibrahim tidak
datang tiba-tiba, apalagi diabadikan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 125,
yang setiap saat dibaca oleh umat Nabi Muhammad SAW, wattahadza Allah Ibrahima
Khalila (dan Allah mengambil Nabi Ibrahim menjadi kesayanganNya).
Kaitan dengan ayat di atas, Imam
Abu Abdillah al-Qurtubi dari Cordova Spanyol (w. 671 H) dalam karyanya berjudul Tafsir Qurtubi meriwayatkan alasan
mengapa Nabi Ibrahim dikenal sebagai “kholilullah”. Salah satunya, mengutip
dari riwayat Abdullah ibn Amr ibn Ash, ketika Nabi Muhammad bertanya kepada
Jibril. Jibril menjawab, alasannya karena Ibrahim dikenal memiliki kebiasaan
untuk selalu berbagi apapun kepada orang lain, terlebih kaitan dengan makanan.
Soal ketaatan personal kepada Allah
sulit diragukan karena memang Ibrahim adalah Nabi dan Rasul Allah. Setiap siang,
lebih-lebih tengah malam beliau senantiasa berada dalam “keintiman” beribadah untuk
membuka pintu langit menghadap Allah disaat semua orang terlelap dalam tidurnya.
Namun, kepedulian Nabi Ibrahim kepada
sesama tanpa mengenal waktu dan kondisi, layak diteladani bagi generasi saat
ini di tengah kehidupan semua orang banyak tergilakan oleh gemerlapan dunia
yang dianggapnya “abadi”. Apapun dipertahankan agar apa yang dimiliki tidak lepas
kepada orang lain, padahal setiap orang mestinya sadar bahwa tanpa orang lain,
kita tidak ada artinya dan sejatinya yang dimiliki adalah yang diinfakkan untuk
kemaslahatan orang lain.
Di Tengah Pandemi Covid 19
Pandemi Covid
19, walau saat ini sudah berada dalam situasi sebutan New Normal, telah
menyebabkan kehidupan semua dalam ketidakstabilan, terkhusus kondisi sosial ekonomi.
Di satu sisi, putus hubungan kerja terjadi dimana-mana, termasuk di instansi
pendidikan, dan disisi yang berbeda mereka yang memiliki profesi berdagang juga
mengalami yang sama, yakni penghasilan dan modal hampir tidak stabil sehingga
tidak sedikit merugi setiap hari.
Contoh misal, ketika penulis jalan-jalan ke pasar dekat rumah, misalnya, sempat tanya penjual lontong mie dari Madura ditanya kaitan penjualan dan keuntungan dibandingkan dengan sebelum pandemi covid 19. Si penjual mie dengan nada lirih dan agak sedih menjawab dengan bahasa lokalnya: “payah pak, ojien odik. Biasanah beteh benyak lebbi-lebbi mun preien. Tapeh semangken, pokoeng tak rogi alhamdulillah” (payah pak. Ujian hidup, biasanya keuntungan banyak apalagi musim libur. Tapi saat ini, pokoknya tidak rugi Alhamdulillah).
Ini sekedar sebagian cerita kehidupan
orang yang cukup terpukul oleh kondisi pandemi covid. Pasti ada yang lebih
parah. Karenanya, semuanya harus bersabar dan bagi yang berkecukupan harus pula
memiliki sikap peduli untuk memikirkan kondisi orang lain sekitar kita; peduli untuk
terus memberikan kemanfaatan atau sedikit mencarikan solusi kepada korban
sesuai dengan kemampuan dan profesi yang kita setiap hari.
Bersamaan dengan semangat
berkurban di hari dan bulan mulia ini, spirit kedermawanan Nabi Ibrahim layak
menjadi contoh agar kita tidak hanya bangga terus menghamba pada egoisme dan individualisme
melupakan peduli pada sesama. Bukankah kehidupan akan lebih bermakna dan akan
lebih indah, jika hubungan antar sesama dibalut dalam bingkai tolong-menolong dan terus menebar kasih sayang.
Akhirnya, mari kita berusaha
sekuat tenaga menjadi sosok Ibrahim dimasa kini, sosok yang mampu mewariskan
peradaban kemanusiaan yang berimbang, yakni total bergerak mengabdi kepada
Allah, sekaligus total berbagi kebahagiaan pada yang lain. Selebihnya, mari tetap
semangat untuk berkarya, walau di tengah pandemi Covid 19. Semoga sehat selalu.
Leave a Comment