PUASA UNTUK MEMBANGUN SOLIDARITAS SOSIAL
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak
ada orang Islam yang meragukan keberadaan puasa Ramadlan sebagai pilar dasar di
dalam agama Islam. Sebagai rukun Islam, puasa merupakan upaya untuk menjalani
ritual tidak makan, minum dan relasi seksual di siang hari dan juga perbuatan
lain yang bisa merusak kesempurnaan puasa.
Bagi
perindu puasa, maka kehadiran bulan Ramadlan demikian diharapkan, sebab bulan
Ramadlan merupakan bulan yang disucikan Allah dan menjadi instrumen untuk
peleburan dosa atau ampunan Allah swt
dan memperbanyak pahala sebagai bekal untuk memasuki surganya Allah dan
keridlaan Allah.
Islam
sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah untuk manusia sesungguhnya
merupakan agama yang sangat komplit. Sebagai pedoman kehidupan, maka Islam
tidak hanya mengajarkan hubungan dengan Allah dalam bentuk ritual-ritual saja,
akan tetapi juga mengatur relasi antar manusia, bahkan juga relasi antar
manusia dengan alam, baik makro maupun
mikro kosmos.
Sedemikian
pentingnya relasi antar manusia tersebut sampai-sampai digambarkan di dalam
sejarah Islam, bagaimana seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. ketika dia
berkeinginan untuk selalu berada di dalam masjid dan hanya untuk beribadah
kepada Allah saja, maka Nabi Muhammad Saw. memintanya agar tetap membangun
kehidupan dengan keluarganya dan juga masyarakatnya. Sahabat Salman Al-Farisi
mengikuti anjuran Nabi Muhammad Saw untuk tidak hanya beribadah kepada Allah
melalui ritual-ritual saja, tetapi juga
membangun relasi dengan sesama manusia.
Di
dalam membangun kehidupan, maka manusia
juga dianjurkan untuk terus menjaga harmoni di dalam kehidupan, baik harmoni
dengan sesama manusia maupun dengan alam. Keselarasan relasi tersebut
diwujudkan dengan tidak melakukan eksploitasi alam secara berlebihan. Manusia
tidak boleh menjadikan alam hanya sebagai obyek yang bisa dieksploitasi
semau-maunya, akan tetapi menjadikan
alam subyek yang memiliki hak untuk hidup dan berkembang.
Dengan
menjadikan alam sebagai subyek, maka manusia tidak merusak hutan, mencemari
lautan, merusak habitat ekosistem alam, dan juga merusak atau memusnahkan
binatang agar alam menjadi seimbang dan harmonis. Kerusakan alam disebabkan
oleh tangan manusia. Kerusakan di lautan dan di daratan disebabkan oleh
perilaku manusia. (QS Ar Rum: 41).
Allah
swt telah menciptakan untuk manusia hukum berpasangan. Ada ashab al-yamin wa ashab al-syimal. Ada langit dan bumi, ada perbuatan baik dan perbuatan jahat,
ada surga dan neraka, ada ketaatan dan keingkaran, dan sebagainya. Semua diciptakan
agar manusia memiliki pilihan mana yang akan diambilnya setelah semua petunjuk
sudah diberikan. Bukankah al-Qur’an, Al-hadits dan ijma’ ulama sudah cukup bagi
manusia untuk melakukan pilihan yang tepat bagi dirinya.
Allah
juga menciptakan strata sosial, ada yang kaya dan yang miskin, ada yang beruntung dan yang buntung secara ekonomi, ada yang
dermawan dan yang kikir. Semua ini
didesain Tuhan sebagai instrumen untuk menunjukkan keadilan. Ada kelompok satu
persen yang kaya raya dan ada 99 persen yang kesebalikannya. Namun Allah
memberikan agar yang kaya dan miskin itu saling memberi dan menerima. Konsep
zakat, shadaqah,infaq, hibah dan bentuk pemberian lainnya merupakan konsep
yang sangat indah di dalam ajaran Islam.
Hanya
saja banyak orang yang secara sadar mengekploitasi kekayaan dengan tidak
memperhatikan kelompok lainnya. Melalui sistem ekonomi kapitalistik yang
diciptakannya, maka sebagian kecil masyarakat dunia menguasai segala sumber
daya ekonomi untuk kepentingan dirinya sendiri. Padahal, sebagaimana diketahui
bahwa Islam mengajarkan bahwa di dalam kekayaan yang dimiliki individu tersebut
terdapat hak milik yang tidak kaya.
Di
dalam bulan Ramadlan, Allah mengajarkan agar manusia tidak hanya lapar dan haus
di siang hari dan perbuatan lainnya yang dilarang, akan tetapi ada nasehat
utama yang diberikan yaitu agar manusia menjaga eksistensi manusia lainnya
dengan saling memahami kehidupannya. Jika menahan lapar dan haus itu
menyusahkan, maka manusia diajarkan agar empati dan simpati terhadap mereka
yang lapar dan haus atau bahkan yang tidak beruntung secara ekonomi.
Kedermawanan
bukanlah sesuatu yang bersifat given. Bukan takdir Tuhan atas manusia. Tetapi
kedermawanan dapat dilakukan berbasis pada proses belajar sosial. Manusia dapat
belajar dari sekelilingnya untuk menjadi dermawan. Di dalam bahasa kaum
fenomenolog, maka ada because motive
atau motif eksternal untuk menjadi dermawan. Dengan melihat lingkungannya, maka
orang mestinya tergerak untuk menjadi pemberi dan bukan penghisap. Manusia akan
bisa simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain.
Ketika
ada seseorang dengan kekayaan sebesar triliunan rupiah, lalu di sekelilingnya
terdapat orang yang tidak beruntung,
orang miskin, orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan kehidupan
sehari-hari, maka orang yang sedemikian kaya harus belajar. Jadi jangan menjadi
orang yang tidak mau belajar dari lingkungannya. Jika berperilaku demikian,
maka mata, telinga, dan hatinya telah menjadi buta. Di sinilah Islam
mengajarkan untuk bersedekah, berzakat, berinfaq dan menghibahkan sebagian
“kecil” hartanya untuk manusia lainnya yang tidak beruntung.
Puasa
yang kita lakukan hakikatnya merupakan proses belajar sosial atas penderitaan
dan ketidakberuntungan orang lain. Faktor eksternal yang dirasakan tersebut
harus menjadi pelajaran bagi diri dan kemudian menggerakkan untuk melakukan
tindakan dalam tujuan menjaga keharmonisan dan keselarasan.
Solidaritas
sosial tidak akan pernah terjadi, jika relasi antara yang kaya dan miskin tidak
berada dalam kesadaran untuk berbagi. Yang kaya memberikan sebagian “kecil”
hartanya dan yang miskian memperoleh bagiannya. Taqsim al-arzaq adalah konsep yang yang sangat baik agar kita
merasakan kehidupan orang lain. Sayyidina Umar ibn al-Khattab adalah salah seorang
sahabat Nabi Muhammad Saw. yang sangat dermawan. Suatu hari Beliau menyuruh
pembantunya untuk mengantarkan uang sebanyak 400 dirham kepada Abu Ubaidah ibn
Jarrah. Lalu uang itu oleh Abu Ubaidah tidak digunakan sama sekali untuk
kepentingannya sebab uang tersebut semua diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan. Begitulah para sahabat Nabi Muhammad Saw. bertindak dan berperilaku
pada orang yang memerlukan bantuan.
Dengan
demikian, fondasi untuk membangun solidaritas sosial adalah perilaku
kedermawanan. Semakin banyak orang dermawan di era kesulitan sosial (seperti
era Covid-19), maka akan berpotensi semakin besar memunculkan solidaritas
sosial. Kesadaran untuk membangun solidaritas sosial membutuhkan faktor
pengungkit dan faktor penyebab, dan salah satunya melalui pemahaman atas dunia
sekeliling.
Marilah
kita jadikan bulan Ramadlan sebagai bulan suci yang di dalamnya tidak hanya
untuk memperkuat kesalehan ritual, akan
tetapi juga kesalihan sosial. Inilah ajaran keseimbangan di dalam Islam yang
sangat luar biasa. Wallahu a’lam bi al shawab.
Leave a Comment