MENGENAL LEBIH DEKAT KH. BISRI SYANSURI JOMBANG (1886-1980)
Wasid Mansyur
(Wakil Ketua PW. GP. Ansor Jatim dan LTN NU Jatim)
KH. Bisri Syansuri, selanjutnya disebut Kiai Bisri Syansuri, adalah tokoh
bangsa yang telah berjasa besar bukan saja ikut andil dalam proses dinamika
perkembangan pesantren di Indonesia, sekaligus ikut mendirikan NU. Tapi juga
berkontribusi besar bagi bangsa ini dari pra-kemerdekaan hingga pasca
kemerdekaan, baik pikiran maupun aksi nyata. Karenanya, generasi terkini layak
mengenal lebih dekat tentang beliau dalam rangka menjadikannya sebagai cermin
hidup, sejauhmana kita saat ini bisa berbuat untuk kejayaan Islam dan mempertahankan
NKRI.
Pastinya, Kiai Bisri Syansuri menjadi tokoh besar tidak langsung
jadi, melainkan melalui proses panjang menapaki rintangan yang dihadapinya
dengan keteguhan tekad dan kesabaran untuk mewujudkan mimpi bahwa perubahan
harus diciptakan, tak ujuk-ujuk datang dari langit. KH. Abdurahman Wahid (Gus
Dur), dalam bukunya Khazanah Kiai Bisri
Syansuri; Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat, mengambarkan bahwa setidaknya ada
dua realitas sosial-budaya yang mempengaruhi perjalanan hidup Kiai Bisri
Syansuri, yang dikenal berasal dari Tayu Pati Jawa Tengah.
Pertama, umumnya masyarakat Tayu yang dihimpit ekonomi
pas-pasan, untuk tidak mengatakan larut dalam problem kemiskinan.
Kalaupun ada jalur perekonomian, tetap saja masih kurang memadai sebab tanah
pertanian yang dimiliki cenderung tidak subur, termasuk hasil laut masih
dipandang belum mampu merubah kondisi ekonomi disebabkan masyarakat Tayu masih
menggunakan model
penangkapan tradisional di satu pihak, dan belum ada sistem kepemilikan modal
serta pengawaten hasil ikan di pihak yang berbeda sehingga hasil laut cenderung dimonopoli oleh segelintir pemodal
besar.
Menariknya sekalipun kemiskinan dianggap bermasalah, tapi
Kedua, masih kuatnya tradisi masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam yang
ketat. Artinya masyarakat Tayu dikenal sebagai masyarakat santri, yang juga
dialami oleh hamper
semua masyarakat pesisir utara pada umumnya. Cukup realistis,
bila kemudian pesisir utara banyak bermunculan pondok pesantren dan kiai-kiai
besar yang menjadi rujukan baik tetap bermukim di tempat asli atau memilih berpindah
ke tempat lain dalam rangka semangat dakwah Islam di Nusantara, khususnya Lasem
atau Sarang.
Gambaran awal kondisi sosial-budaya ini yang melingkupi
kelahiran Kiai Bisri Syansuri pada 18 September 1886 M atau bertepatan dengan 28
Dzulhijjah 1304 H dari pasangan Syansuri dan Mariah. Dari data sang ibu, Kiai
Bisri Syansuri memiliki titisan keulamaan yang sangat kuat kaitan dengan
tradisi pesantren dan keilmuan Islam sebab Ibu Nyai Mariah terlahir dan
dibesarkan di Lasem, yang bersambung kenasabannya dengan beberapa ulama besar
di Lasem, misalnya Kiai Khalil Lasem, Kiai Ma’sum hingga Kiai Baidhawi.
Karenanya, tekad keluarga agar terus mengantarkan generasi
unggul menarik untuk ditelusuri agar tidak mudah menyalahkan keadaan, terlebih
dalam mengawal perjalanan hidup Bisri Syansuri, yang tercatat sebagai anak
ketiga dari 5 bersaudara, yaitu mas’ud, Sumiati, Muhdi dan Syafa’atun. Tekad
keluarga dibuktikan dengan memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan Bisri Syansuri mulai dari
kanak-kanak hingga masa muda. Bahkan proses pendidikan pesantren yang dilalui
selama puluhan tahun tidak saja dekat dengan kelahirannya, tapi Bisri Syansuri mentahbiskan dirinya sebagai “santri
keliling” menuju satu pesantren ke pesantren lainnya di luar daerah demi ilmu
dan keberkahan guru yang menjadi tujuan beliau.
Jejak Singkat
“Nyantri”
Menarik menelusuri jejak pendidikan kiai-kiai pesantren
adalah tekadnya untuk tidak lelah belajar dengan tidak hanya pada satu guru
atau kiai melainkan ke beberapa guru sesuai dengan integritas, kharisma dan
kapasitas keahlihan kiai yang menjadi pilihan. Karenanya, belajar bukan hanya
butuh guru yang menyambungkan sanad, tapi juga butuh waktu yang lama sebagai
mana dilakukan oleh Bisri Syansuri, sebutannya ketika masih sebagai santri.
Catatan Gus Dur, menyebutkan
bahwa Bisri Syansuri memulai belajar agama secara tertib, khususnya belajar
al-Qur’an pada usia tujuh tahun (bertepatan dengan tahun 1893) kepada Kiai
Shaleh di Desa Tayu. Dikatakan tertib sebab belajar al-Qur’an kali ini disertai
dengan pendalaman bacaan agar sesuai dengan pakem-pakem yang diajarkan dalam
ilmu tajwid. Pasalnya, membaca al-Qur’an yang sesuai dengan tajwid adalah keniscayaan
bagi Muslim, apalagi yang dibaca adalah Kalamul
Allah, sumber dari ajaran Islam. Belum lagi bila membaca surat
al-Fatihah, yang selalu dibaca dalam rangkaian sholat wajib lima waktu.
Berbekal belajar al-Qur’an selama 2 tahun bersama Kiai
Shaleh Tayu menjadi modal tersendiri bagi Bisri Syansuri untuk terus mendalami
al-Quran. Dengan kemampuan ini Bisri Syansuri kemudian melanjutkan nyantri
kepada Kiai Abdul Salam, salah satu Kiai Kajen Pati yang dikenal pada masanya
sebagai hafidh al-Qur’an pada tahun 1895. Bersama Kiai Abdul Salam, Bisri
Syansuri bukan hanya belajar al-Qur’an, juga belajar tata cara bahasa Arab,
tafsir al-Qur’an, fiqh hingga mengkaji kumpulan hadith Nabi Muhammad Saw.
Didikan Kiai Abdul Salam selama enam tahun memberikan
arti tersendiri bagi perkembangan kepribadian Bisri Syansuri.
Pasalnya, dalam kehidupan pesantren Kiai Abdul Salam menerapkan model keteladan
beragama dengan keras mengikuti aturan yang ditetapkannya, sekalipun tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip akhlakul karimah. Interaksi Kiai-Santri berjalan
secara alamiah sehingga keteladan tumbuh tanpa paksaan, tapi memberikan bekas
yang sangat penting bagi kehidupan Bisri Syansuri, yang mulai menginjak masa
remaja tahun 1901.
Semangat Bisri Syansuri menuntut ilmu tidak pernah kendor,
bahkan terus haus
pengetahuan. Semangat ini yang mengantarkan pengembaraan ilmu beliau
berlanjut
keluar dari Jateng hingga sampai ke pesantren Demangan
Bangkalan, asuhan Syaikhana KH. Khalil ibn Abdul Latif Bangkalan. Sebelumnya,
sempat belajar sejenak kepada Kiai Syu’aib Sarang dan Kiai Khalil Kasingan.
Pilihan merantau ke pesantren
Demangan cukup beralasan sebab sosok guru kali ini sangat
masyhur kharisma dan kealiman di seantaro komunitas santri Nusantara, khususnya
Jawa dan Madura.
Dalam diri Syaikhana Khalil terdapat perpaduan ilmu yang
sangat kuat, yakni kedalaman mempraktikkan fiqh beriringan dengan praktik
tasawuf atau dunia ketarekatan. Kemasyhurannya sebagai kekasih Allah (waliy Allah) menjadi pemantik
tersendiri bagi Bisri Syansuri untuk terus belajar, apalagi dalam sanad
keilmuannya, Syaikhana Khalil masih murid dari Syaikh Nawawi al-Banteni, salah
satu ulama Nusantara yang muncer di Makkah dan menjadi rujukan para santri dari
Nusantara, bahkan Asia Tenggara.
Menariknya, di pondok Demangan, Bisri Syansuri tidak
hanya dapat ilmu dan sinaran kharisma Syaikhana Khalil. Tapi sekaligus, mempertemukan para santri-santri
lain yang menjadi tokoh penting pesantren, NU dan pejuang bangsa di kemudian hari,
terkhusus berteman akrab dengan Abdul Wahab Hasbullah, santri yang berasal dari
Jombang. Bukan hanya sekedar teman, tapi
dalam waktu kemudian Abdul Wahab menjadi saudara ipar sebab Bisri Syansuri
menikah dengan adiknya, yang bernama Nur Khadijah.
Setelah dipandang cukup nyantri di pesantren Demangan
Bangkalan selama 5 tahun, Bisri Syansuri meneruskan pengembaraan ilmu ke
pesantren Tebuireng Jombang asuhan pendirinya –sekaligus pendiri NU—Hadhratusy
Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari tahun 1906. Pilihan yang sangat penting
menyambungkan sanad ilmu, sekaligus sanad pergerakan dimasa-masa yang akan
datang untuk memperjuangkan spirit Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bingkai organisasi NU dan kecintaan pada
bangsa (hubbu al-wathan).
Di pondok pesantren Tebuireng –yang dijalani selama enam
tahun mulai tahun 1906 hingga 1912, Bisri Syansuri bukan saja menimbah ilmu
dari sang Guru, Kiai Hasyim, tapi juga larut dalam tradisi keilmuan yang sangat
kuat. Mengingat, Kiai Hasyim cukup mendukung tradisi baca-tulis, sekaligus adanya forum ilmiah antar
para santri Tebuireng. Tercatat angkatan Bisri Syansuri adalah angkatan terbaik
didikan Kiai Hasyim, yang juga banyak melahirkan kiai-kiai besar di pesantren
Jawa, misalnya Abdul Manaf Kediri, As’ad Syamsul Arifin, Ahmad Baidhawi Banyumas,
Abdul Karim Sedayu, Nahrawi Malang, Abbas Jember, Ma’shum Ali Maskumambang
Sedayu, dan lain-lain.
Tradisi ilmu yang kuat di Tebuireng, khususnya dalam
forum fiqh, sangat membentuk keteguhan dan nalar pikir Bisri Syansuri dalam
memaknai tradisi berfiqh dan kaitannya menghadapi isu-isu kekinian.
Keteguhannya dalam berfiqh seringkali menjadi pemantik perdebatan dengan teman yang
lain, tapi kematangan keilmuan beliau mengantarkan tetap menghargai segala
perbedaan khususnya di lingkungan pesantren. Dari Kiai Hasyim, Bisri Syansuri
memperoleh ijazah beberapa kitab yang sah untuk diajarkan, dari kitab fiqh al-Zubad hingga bukhari dan Muslim.
Tahapan selanjutnya, Bisri Syansuri meninggalkan tanah
airnya menuju Makkah untuk menimbah ilmu ke beberapa Syaikh yang cukup dikenal
pada masanya. Sepanjang dua tahun di Makkah, Beliau juga ikut menyaksikan
proses pendirian cabang Syarikat Islam, yang diyakini ikut membangun kesadaran pentingnya
berorganisasi dalam kehidupan sebagaimana beliau ikut serta mendirikan NU, dan
terlibat dalam pendidirian beberapa organiasi embrio berdirinya NU, misalnya
Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar, dan lainnya.
Sumber sejaran menyebutkan, beberapa guru yang turut ditimba
ilmu-ilmunya oleh Bisri Syansuri adalah Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad
Sa’id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan Syaikh Jamal Maliki. Termasuk Bisri
Syansuri berguru juga kepada guru-guru Kiai Hasyim, yakni Syaikh Ahmad Khatib
Padang, Syaikh Syu’aib Daghistani, dan Syaikh Mahfud Termas. Pada tahun 1914,
Bisri Syansuri Kembali ke Nusantara, dengan memilih menetap di Jombang
mengikuti putusan diskusi dengan keluarganya, sekaligus permintaan keluarga
istrinya, Nyai Nur Khadijah.
Begitulah perjalanan singkat pendidikan Bisri Syansuri.
Selama kurang lebih 21 tahun beliau menimbah ilmu dari beberapa guru, baik di
Nusantara maupun di Makkah. Kematangan ilmunya dan ketangguhan sanad ilmunya
sulit diragukan oleh siapapun. Karenanya, kelak dikemudian hari beliau lebih
dikenal dengan nama KH. Bisri Syansuri Jombang sebagai pendiri dan pengasuh
pondok pesantren Manba’ul
Ma’arif Denanyar Jombang, pendiri NU, dan pejuang melawan penjajah.
Teguh Prinsip dan Pejuang Tangguh
Perjuangan
Kiai Bisri Syansuri bagi pesantren NU dan bangsa tidak datang tiba-tiba,
melainkan dibentuk oleh cara pandang atau bisa dikatakan paradigma beliau dalam
memahami Islam, khususnya menempatkan fatwa-fatwa fiqh sebagai prinsip yang
melandasi pikiran dan kerja-kerjanya dalam melakukan proses-proses berkehidupan,
baik bersama santri dan masyarakat atau dengan NU dan komunitas lain dalam
bingkai kebangsaan.
Karenanya,
ketika beliau meninggal pada hari Jum’at tanggal 25 April 1980, bertepatan
dengan umur 94, banyak pihak merasa kehilangan dengan sosok
mulia Kiai Bisri
Syansuri. Perasaan kehilangan sebenarnya biasa, tapi beliau mewariskan banyak
karakter dalam beragama dan berbangsa,
yang sulit tergantikan dalam periode-periode berikutnya. Beliau dikenal tegas dalam prinsip, tapi teduh dalam
bergaul. Berikut beberapa komentar kiai dan tokoh nasional, ketika Kiai Bisri
meninggal sebagaimana dimuat di majalah Aula Edisi bulan April tahun 1980.
Komentar
pertama datang dari KH. Mahrus Ali Kediri. Kiai Mahrus mengatakan tentang sosok
Kiai Bisri Syansuri sebagai Kiai yang sangat kuat kewiraiannya. Pasalnya, Kiai
Bisri Syansuri tidak berani bertindak memutuskan atau melakukan sesuatu hal kecuali,
bila beliau menemukan nash yang memastikan kebolehannya. Ini dilakukan dalam
rangka agar sepanjang hidupnya dijauhkan dari praktik syubhat; sebuah prinsip
kehati-hatian agar terhindar dari hal apapun yang tidak jelas halal-haramnya, yang
dalam kondisi terkini sulit menjadi perhatian serius secara bersama kebanyakan
Muslim.
Tidak
kalah pentingnya dari komentar Kiai Mahrus adalah komentar Prof. Mitsuo
Nakamura,
Ph.D, peneliti dari Jepang.
Nakaramura mengatakan tentang sosok Kiai Bisri Syansuri sebagai salah satu
pendiri NU yang memiliki prinsip kemandirian. Karenanya, warisan prinsip beliau
menjadi tantangan tersendiri bagi kader-kader NU, khususnya dari kalangan NU
muda. Prinsip
kemandirian berpikir telah menjadi karakter Kiai Bisiri Syansuri dengan berpikir
ala fiqih yang sangat kuat, tidak mudah mengekor pendapat orang lain.
Begitu
juga, Hamka mengomentari tentang sosok Kiai Bisri Syansuri, ketika berada di
atas pemakamannya. Hamka memandang bahwa kesalehan Kiai Bisri Syansuri sulit
diragukan. Setiap saat bertemu, beliau selalu membawa tasbih ketika berjalan,
sambil melantunkan dengan lirihnya kalimat jalalah.
Karenanya, saya secara pribadi, tegas Hamka, merasa kecil di hadapan beliau
yang selalu menjaga agar hatinya terus terkoneksi dengan Allah Swt, kapanpun
dan dimanapun beliau berada.
Tidak
ketinggalan sebagai bentuk perasaan kehilangan atas meninggalnya Kiai Bisri
Syansuri datang dari AR. Fahruddin, Ketua PP Muhammadiyah.
Pak AR. Fahruddin mengatakan:
“saya merasa kehilangan tokoh/ulama Islam”. Pastinya, perasaan ini muncul sebab
prilaku dan sepakterjang Kiai Bisri Syansuri mampu menjadi jembatan komunikasi
yang terus saling menghargai dan selalu menjaga harmoni dalam menyikapi
berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan bersama Muhammadiyah.
Begitulah
komentar beberapa tokoh atas meninggalnya Kiai Bisri Syansuri. Masih banyak
komentar lain, pastinya semua sepakat bahwa Beliau memiliki karakter yang unik,
sebagai muassis NU dan pejuang yang setia dan tegas dalam memegang prinsip
luhur yang diadopsi dari tradisi fiqh atau mengutip Gus Dur sebagai Pencinta
Fiqh sepanjang hayatnya. Keteguhan Kiai Bisri Syansuri dalam memegang prinsip
ini mewarnai perjalanan NU, apalagi beliau tercatat pernah menjabat Rais A’am
PBNU menggantikan kakak iparnya, KH. Wahab Hasbullah yang meninggal lebih dulu
pada tanggal 29 Desember 1971.
Teguh
dan keras menerima fatwa-fatwa fiqh, bukan berarti Kiai Bisri Syansuri tidak
menerima perbedaan, untuk tidak mengatakan menolak pendapat lain. Perbedaan
antar umat Islam selalu beliau hargai sebagai dinamika, bukankah dalam fiqh juga
diajarkan dalam setiap masalah selalu ada fihi
qaulani atau fihi aqwalun. Tapi beliau tetap sangat teguh memegang pendapat yang
paling berat dengan semangat agar tidak mudah terjebak memilih pendapat paling
rendah. Terlebih fakta dan praktiknya, hukum fiqh nampaknya selalu
ditawar-tawar dengan mempertimbangkan keragaman pendapat di satu sisi dan
kenyataan yang dihadapi umat di sisi yang berbeda.
Begitulah
keteguhan prinsip bersikap Kiai Bisri Syansuri hingga mempengaruhi perjuangan
beliau dalam mengelola pesantren, ikut serta mendirikan serta mengawal NU
berproses dan terlibat berjuang melawan penjajah. Ketika fatwa resolusi jihad
ditetapkan, yang notabenenya muncul dari dialektika teks-teks fiqh, Kiai Bisri
Syansuri tersadarkan diri bahwa nasib bangsa ini tidak bisa diselesaikan dengan
diam. Aktivisme di luar pesantren semakin giat, sekalipun beliau masih memantau
perjalanan pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar sebagai medan dakwah.
Tercatat
dalam sejarah bahwa Kiai Bisri Syansuri pernah menjadi kepala Staf Markas
Oelama Djawa Timur (M0DIT) yang mulanya berada di wilayah Waru-Sidoarjo atau
dekat kota Surabaya, sekarang timur jalan keluar bis Bungurasih Surabaya. Markas
ini menjadi titik koordinasi dengan para pejuang santri dari berbagai kelompok
daerah, sebuat saja misalnya koordinasi dengan laskar Hizbullah dan sabilillah.
Pastinya, markas ini bukan saja menjadi tempat bermusyawaroh mengatur strategi pertempuran
dengan penjajah, tapi sekaligus menjadi tempat pengemblengan para santri yang
siap mati untuk mempertahankan sejenggal tanah sekalipun agar kembali tidak dikuasai
penjajah. Markas ini mendapat pengawasan penuh dari sang Guru sebagai Komando
awal, KH. Hasyim Asy’ari.
Baru
setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 25 Juli 1947 M bertepatan
dengan 7 Ramadhan 1366 H, Kiai Bisri Syansuri di angkat sebagai ketua Hizbullah
dan Sabilillah wilayah Jawa Timur yang selanjutnya bermarkas di Jombang sebab
markas lainnya di Malang telah dikuasai oleh Belanda. Lagi-lagi tekad Kiai
Bisri Syansuri untuk ikut andil perang sulit dipisahkan dari fatwa resolusi jihad sebagai pemompa semangat,
di samping kesadaran beliau muncul untuk memperjuangkan nasib masyarakat miskin
akibat ekonomi penjajah yang menindas.
Pasca
perang fisik, Kiai Bisri Syansuri terus mengawal perjalanan NU dan pondok
pesantren Denanyar, termasuk tetap aktif dalam ruang perpolitikan bangsa. Catatan
sejarah menyebutkan, Kiai Bisri Syansuri menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), meskipun pada akhirnya beliau keluar setelah dewan ini dibubarkan
dan diberhentikan oleh presiden dengan mengganti anggota baru menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Karenanya,
sikap keluar Kiai Bisri Syansuri cukup beralasan sebab apa yang dilakukan oleh
presiden secara fiqh tidak diperbolehkan. Pasalnya, DPR dipilih secara langsung
oleh rakyat, maka dengan membentuk anggota baru berarti mendholimi suara
rakyat. Berbeda dengan pendapat KH. Wahab Hasbullah, pemerintahan tidak boleh
vakum sehingga keterwakilan NU dalam dewan menjadi penting agar institusi
Negara berjalan stabil, mengikuti tawaran presiden ir. Soekarno. Keduanya
berbeda, tapi Kiai Bisri Syansuri sangat menghargai keputusan tersebut, apalagi
Kiai Wahab Hasbullah adalah pimpinan tertinggi NU. Sebagai bentuk kesetiannya,
Kiai Bisri Syansuri tidak melarang putrinya, Nyai Hj. Sholihah mengikuti jejak
Kiai Wahab Hasbullah.
Hampir
semua keputusan Kiai Bisri Syansuri sepanjang hidupnya dalam memberikan
sumbangsih untuk mengurai problem pesantren, NU dan bangsa selalu
mempertimbangkan fatwa-fatwa fiqh. Di samping yang telah disebutkan, misalnya
sikap mendirikan pondok putri bersama istrinya Nyai Hj. Khodijah sekitar tahun
1920, sikap memperbolehkan program Keluarga Berencana (KB) dengan prasyarat
tertentu, RUU perkawinan, dan lain-lain. Artinya, pertimbangan prinsip maslahah
bagi semua, yakni bagi nahdliyin, umat Islam umumnya dan rakyat Indonesia
selalu diperhatikan dengan tetap teguh pada kaedah berpikir ala fiqh.
Kiai
Bisri Syansuri boleh meninggalkan kita sebab memang yang hidup akan selalu
berakhir untuk berpindah pada alam berikutnya, dan tidak ada mahluk hidup yang
abadi. Tapi, semangat ketegasan, kehati-hatian,
sekaligus kelenturan dalam menyikapi perbedaan, yang beliau praktikkan layak diteladani
agar kita tidak mudah terjebak dalam hidup invidualis dan materialis. Jaga
kesalehan beragama dan ketaatan berbangsa dengan sebaik-baiknya melalui sinergi
tanpa henti dengan para kiai pesantren dan NU sebagaimana beliau lakukan
sepanjang hidup hingga meninggal dan dimakamkan di area Makam pondok pesantren
Manba’ul Ma’arif Denanyar.
Akhirnya,
pesan Kiai Bisri Syansuri, ketika memberikan sambutan Iftitah pembukaan Mu’tamar
NU ke -26 di GOR Semarang menarik untuk direnungkan untuk diamalkan bersama
sebagai warga NU dan anak bangsa. Beliau
mengatakan: “setiap perjuangan itu harus
di dasari dengan keikhlasasn dan semata-mata mencari ridlo Allah SWT.”
Maka, keikhlasan, menafsirkan pesan beliau adalah kunci bagi umat Islam,
terkhusus bagi kader NU yang turut berkomitmen berdakwah ala Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah al-Nahdiyah.
Semoga kita dapat mengamalkan pesan beliau sebab keikhlasan melahirkan
kebersihan hati. Amin.
Dirancang
dari beberapa Sumber:
· KH.
Abdurrahman Wahid, Khazanah Kiai Bisri
Syansuri: Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat (Jakarta: Pensil 324, 2010).
· KH.
Abdussalam Shohib, dkk, Kiai Bisri Syansuri; Tegas Berfiqih, lentur bersikap
(Surabaya: Pustaka Idea, 2015).
· Buletin NU Jawa Timur, Aula
Nomor. 3 TH. II JUM-AWAL
1400 H/April 1980 M
· Photo dikutip dari Pameran Photo KH. Bisri Syansuri dalam
agenda Haul Muassis Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang tahun
2020
Leave a Comment