MENELADANI KIAI ZAINAL ARIFIN SUMENEP (1877-1953)
Kiai Zainal Arifin lahir dari keluarga yang akrab dengan lingkungan pesantren dari pasangan Kiai Thalabudin dan ibu Nyai Aisyah, yang semenjak kecil bernama Lora Zainal Abidin. Sebutan lora diawal namanya adalah untuk memastikan bahwa yang bersangkutan adalah putra kiai di daerah Madura dan tapal kuda sebagaimana sebutan Gus atau Mas untuk putra kiai di wilayah Jawa. Baru kemudian terjadi perubahan nama, setelah mengerjakan ibadah haji sebagaimana perubahan nama juga menjadi salah satu tradisi masyarakat Madura yang telah melakukan ibadah haji.
Secara nasab,
bila dirunut ke atas, baik dari jalur Kiai Thalabudin atau Nyai Aisyah, Lora
Zainal adalah keturunan Sunan Giri melalui jalur Sunan Cendana Kwanyar
Bangkalan di satu sisi dan keturunan Brawijaya V, raja terakhir Mojopahit
melalu jalur Lembu Peteng. Dengan begitu, maka dapat dipastikan bahwa dalam diri Lora
Zainal terdapat titisan darah ulama, sekaligus darah para raja Jawa.
Lora Zainal,
selanjutnya disebut, dilahirkan di desa Tarate pada tahun 1293 atau bertepatan
dengan tahun 1877 M. Beliau terlahir
dalam keadaan yatim, mengingat ayahnya Kiai Thalabudin meninggal sebelum lahir.
Kondisi ini sudah diprediksi oleh Kiai Thalabudin, ketika berpesan kepada
istrinya, Nyai Aisyah yang sedang hamil lima bulan bahwa dirinya tidak akan
lama lagi meninggal dunia sesuai dengan isyarat yang didapat. Karena itu, jika
benar-benar melahirkan anak laki-laki, maka berilah nama Zainal Abidin, tegas
Kiai Thalabudin kepada istrinya, Nyai Aisyah.
Selang beberapa
bulan kemudian Kiai Thalabudin benar-benar ditakdirkan oleh Allah SWT. meninggal
pada 18 Dzulhijjah 1293, yang bila dikonvensi ke kalender masehi tepat pada
hari Rabu 3 Januari 1877 M. Perasan sedih dialami oleh Nyai Aisyah, termasuk
keluarga besar pesantren. Tapi, selang beberapa bulan ditahun yang sama, Nyai
Aisyah akhirnya benar-benar melahirkan laki-laki dan selanjutnya diberi nama
Zainal Abidin sesuai pesan dari suaminya, yakni Kiai Thalabuddin, sebelum
meninggal.
Dalam kondisi
lahir yatim memastikan tumpuhan hidup Lora Zainal kecil bergantung kepada sang
ibu, Nyai Aisyah. Pastinya ada perjuangan dan tantangan tersendiri ditinggal ayahnya,
Kiai Thalabudin, yang tidak dialami oleh saudara-saudara lain. Pasalnya, Lora Zainal
adalah anak terakhir dari empat bersaudara, yaitu Kiai Sholehuddin Situbondo,
Nyai Syafiyah Tanggul dan Nyai Shalehah. Di samping itu, Lora Zainal juga
memiliki dua saudari lain ibu, yang bernama Nyai Aminah dan Nyai Atiyah dari
istri kedua Kiai Thalabudin, yang
bernama Nyai Absari dari Batoan.
Jejak Pendidikan Sang Kiai
Kondisi
ditinggal ayah semenjak kelahirannya, dapat diyakini bahwa peran ibunya, Nyai
Aisyah sangat penting dan strategis dalam proses kehidupan serta keberhasilan Lora
Zainal. Hidup dalam lingkungan pesantren menjadi jalan bagi Lora Zainal untuk
mengenal lebih mudah tradisi-tradisi pesanten sejak dini. Berkat bimbingan
keluarga, khususnya Nyai Aisyah mengantarkan Lora Zainal mempelajari ajaran
Islam dan ilmu-ilmu yang terkait, terlebih dimulai dengan belajar membaca al-Qur’an
dengan baik sebagai kebutuhan awal sebagai Muslim.
Lebih dari itu,
Beliau juga belajar beberapa kitab kuning yang diajarkan di pesantren
peninggalan ayahnya dengan tekun. Baru
setelah dipandang cukup umur, Lora Zainal merantau untuk nyantri ke pondok
pesantren lain di Madura. Pastinya, proses nyantri dilakukan selalu mendapat
restu dari Nyai Aisyah, yang menjadi penentu laju kehidupan Lora Zainal. Ada
dua pondok pesantren di Madura yang sempat menjadi jujukan Lora Zainal untuk
melanjutkan pendidikan, yakni pondok pesantren Karay Sumenep dan pondok pesantren
Syaikhana KH. Muhammad Kholil Bangkalan.
Pertama, pondok
pesantren Karay Ganding Sumenep adalah salah satu pesantren tua di Sumenep yang
pada era Lora Zainal diasuh oleh KH. Imam ibn Mahmud. Perlu diketahui keluarga
pesantren Karay masih memiliki hubungan nasab dengan keluarga Lora Zainal. Karenanya,
dengan nyantri di pesantren Karay, Lora Zainal memperoleh dua hal sekaligus,
yakni sebagai santri untuk mendalami ajaran Islam serta ilmu-ilmu terkait dalam
kitab kuning di satu sisi, dan di sisi
yang berbeda sebagai sarana merajut silaturrahim antar sesama famili dari jalur
leluhurnya.
Menurut catatan,
di pondok pesantren ini, kecintaan Lora Zainal kepada ilmu sangat nampak,
bahkan setiap yang dikajinya selalu dipahami dengan mudah. Tidak salah dalam
banyak hal, Lora Zainal menjadi rujukan para santri kaitan dengan pemahaman
kitab kuning yang dianggap sulit. Dengan begitu, beliau sangat disegani oleh
para santri sebab kedalaman pikirannya dalam memahami kitab kuning. Menariknya,
Lora Zainal tetap tawadhu’ dalam setiap menjawab pertanyaan dengan mengatakan
bahwa apa yang dijelaskan olehnya merupakan penjelasan dari gurunya, Kiai Imam,
dengan harapan tidak merasa mengandalkan akalnya sendiri.
Kedalaman ilmu
Lora Zainal lambat laun mendapat pantauan serius dari Kiai Imam sehingga
mendorongnya untuk segera pulang ke rumah Tarate. Anjuran pulang ini diharapkan
agar Lora Zainal membuka pesantren sendiri sehingga dapat menyebarkan ilmu
kepada masyarakat secara luas sebagai wujud melanjutkan spirit dakwah yang telah
lebih dulu dilakukan oleh para leluhur. Atas perintah ini, akhirnya Lora Zainal
pulang dan tidak begitu lama dari kepulangannya itu ternyata beliau dinikahkan
dengan gadis pilihan ibunya, yang belum ditemukan namanya.
Sepanjang hidup
bersama istrinya, aktivitas Lora Zainal lebih banyak beribadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semangat dan istiqamahnya dalam beribadah
menjadi sebab Lora Zainal memperoleh isyarat langit dengan bentuk suara ghaib,
yang intinya agar beliau melanjutkan untuk berkelana menuntut ilmu. Tidak mau
berlama-lama, Lora Zainal menuntut ilmu kembali ke pesantren Karay, setelah
mendapat restu ibunya. Tapi, sayang sang Guru, Kiai Imam menolaknya dan
menganjurkan Lora Zainal agar belajar ke pondok pesantren di Bangkalan asuhan
Syaikhana KH. Muhammad Kholil ibn Abdul Lathif.
Anjuran gurunya
direspon dengan baik, di samping memang dalam diri Lora Zainal memang tertanam
kecintaan terhadap ilmu yang sangat tinggi. Atas seijin ibunya, Nyai Aisyah,
berangkatlah Lora Zainal menuntut ilmu ke pondok pesantren Syaikhana Kholil Bangkalan.
Sebagai konsekwensi dari keinginan itu, beliau mencerai istrinya terlebih
dahulu agar terhindar dari dosa sebab tidak memenuhi nafkah lahir batin di
masa-masa perantauannya mencari ilmu.
Kedua, pondok
pesantren Syaikhana Kholil Bangkalan. Di pondok ini semangat Lora Zainal
semakin membara apalagi pilihan ini bukan pilihan sendiri, tapi anjuran Kiai
Imam Karay. Pastinya, perintah Kiai Imam bukanlah sembarangan, tapi
mempertimbangkan kealiman dan kewalian Syaikhana Kholil yang masyhur
dizamannya. Berbekal uang dua setengah sen pemberian ibunya, Lora Zainal
meninggalkan desa Tarate Sumenep menuju kota Bangkalan dengan penuh tawakkal
dan kesabaran agar perjalanannya diridhai oleh Allah SWT. serta benar-benar
diberi kemudahan dalam menuntut ilmu, sekaligus berharap keberkahan keada Syaikhana
Kholil.
Dengan bekal
yang sangat terbatas, Lora Zainal memilih jalan kaki menapaki jalan yang tidak
ramai seperti sekarang. Ketika sampai di desa Aengdake Bluto Sumenep, beliau
membeli ketela pohon rebus dengan harga setengah sen untuk membantu kebutuhan
makan di jalan. Lantas melanjutkan perjalanan dengan penuh semangat dan tekad
bahwa mencari ilmu harus penuh kesungguhan, jangan terganggu oleh ekonomi yang
terbatas. Kesungguhan dan tirakat dalam mencari ilmu akan mengajarkan orang
fokus pada impian, tidak terlalu banyak terganggu oleh ha-hal duniawi. Karenanya, tekad bahwa Tidak akan
memperoleh ilmu kecuali dengan bersusah payah (la tarum ilman wa takruka
al-ta’ab), telah menjadi keyakinan dalam dirinya sehingga beliau tetap kondisi
agar tetap semangat.
Setelah sampai
di Bangkalan, Lora Zainal sowan kepada Syaikhana Kholil untuk mengaturkan
maksud dan tujuannya hingga akhirnya diterima sebagai santri. Meskipun dalam
banyak cerita, sosok Syaikhana Kholil sangat unik dalam menerima calon santri
dan berbeda-beda sikap sesuai kapasitasnya. Di pesantren ini, Lora Zainal
belajar banyak ilmu kepada Syaikhana Kholil dengan capaian yang luar biasa.
Kesungguhan dan dan tirakat Lora Zainal dalam belajar menjadi jalan kemudahan
untuk menangkap dan memahami petuah-petuah gurunya, Syaikhana Kholil, ketika
menjelaskan maksud dari kitab kuning yang dibaca hingga akhirnya Kiai Zainal
menguasai beragam ilmu keislaman.
Di Pondok ini,
Lora Zainal dikenal sebagai santri yang mempunyai ilmu sagaran, yakni santri
yang memiliki kemampuan menguasai berbagai ilmu dengan baik. Karenanya, beliau
menjadi rujukan banyak santri dalam menanyakan pelbagai persoalan dengan
beragam disiplin. Menariknya, di pondok ini juga, Lora Zainal juga dinikahkan
oleh Syaikhana Kholil dengan santriwati, yang bernama Siti Aminah. Tidak begitu
lama, setelah memandang kemampuannya sangat baik, Syaikhana Kholil memaksa agar
Lora Zainal kembali pulang bersama Istrinya ke Tarate Sumenep.
Dari proses
belajar di pondok pesantren Syaikhana Kholil, nama lora Zainal Abidin dan istirinya,
Sitinah Aminah dikenal dengan sebutan KH. Zainal Arifin dan ibu nyai Hj.
Hatijah setelah menunaikan ibadah haji. Di Tarate Sumenep, Kiai Zainal bersama
istri memulai proses baru dengan menjadikan tradisi pesantren sebagai jalan
perjuangannya sebagaimana diwariskan dari sang ayah Kiai Thalabbudin dengan mendirikan
pondok pesantren Tarate Sumenep sekitar tahun 1898. Dari pesantren ini, beliau menularkan gagasan
dan berkomunikasi dengan masyarakat luas untuk menyebarkan ilmunya sebagai
ladang dakwah, sekaligus memberikan solusi terhadap problem-problem
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Berdakwah Sambil Berjuang
Kiai Zainal Arifin,
selanjutnya dikenal sebagai pemimpin pondok pesantren Tarate Sumenep.
Kesehariannya lebih banyak di pesantren dengan mengajarkan beragam kitab kuning
kepada santri dan masyarakat, misalnya tentang ilmu tauhid, fikih. akhlakul
karimah hingga ilmu alat dengan sistem yang masyhur di pesantren, baik sorogan
atau bandongan. Aktivitas ini dilakukan
dengan istiqamah sebagai jalan dakwahnya untuk mengenalkan Islam kepada
masyarakat, sekalipun tidak berharap banyak balasan ekonomi dari proses mengajar
yang dilakukannya.
Selebihnya,
khusus pada malam hari beliau mengamalkan bacan-bacaan khusus yang biasa dibaca
oleh penganut tarekat Naqsyabadiyah. Menurut riwayat sanad ketarekatan Kiai
Zainal diperoleh melalui proses baiat dari Syaikh Abdul Adhim dari Bangkalan
(W. 1335 H/1916M), salah satu khalifah tarekat Naqsyabadiyah yang sangat
dikenal baik di Madura, bahkan di
Makkah. Dari Syaikh Abdul Adhim penganut tarekat meluas di berbagai wilayah di
Madura. Perlu diketahui bahwa Syaikh Abdul Adhim memperoleh sanad tarekat dari Syaikh
Muhammad Shaleh al-Zawawi al-Makki.
Penjelasan ini bisa
dipahami bahwa Kiai Zainal Tarate adalah penganut tarekat yang sangat istiqamah,
sekaligus pengamal syariah yang sangat kuat. Tarekat dan syari’ah telah menjadi
jalan hidupnya, bahkan beliau sangat menolak keras bila menemukan pelaku
tarekat yang meninggalkan syariah dengan cara mengajak dengan lemah lembut agar
sadar dan kembali kepada jalan yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya. Hal
ini pernah dilakukan kepada salah satu Kiai yang mengamalkan ajaran “Solok”,
yang salah satu ciri khas ajarannya adalah meninggalkan sholat. Untuk merespon ajaran
ini, Kiai Zainal mengajak berdialog secara lembut di masjid pesantren dengan
kiai tersebut hingga akhirnya kiai pengamal ajaran “solok” sadar kembali dan mengerjakan
sholat sebagaimana biasa.
Cukup beralasan
bila kemudian Kiai Zainal dalam salah satu kesempatan mengatakan sebagai
berikut:
إن من لم يزرع
المشاهدة فى العبادة لم يحصد المشاهدة وكذلك المعرفة
Sesungguhnya
orang yang tidak menanam –proses menuju—musyahadah dalam ibadah, maka
dipastikan ia tidak memanen musyadah. Begitu juga tidak sampai makrifat
(Allah).
Ungkapan
Kiai Zainal adalah penegasan bahwa capaian perasaan menyaksikan kehadiran Allah
dalam batin pelaku tarekat atau tasawuf (musyahadah) atau mencapai derajat ma’rifatullah
mustahil bagi mereka yang sengaja meninggalkan syari’atnya.
Di samping aktivitas dakwah, Kiai Zainal dikenal sebagai
pelaku bisnis, bahkan mendukung setiap kegiatan bisnis yang dilakukan istrinya bersama
para santri dalam mengelola indutri lokal, misalnya pembuatan bedak putih,
bedak lulur, dupa, termasuk jamu wanita dan pria hingga terkenal ke luar
Sumenep. Produksi awal pesantren ini kelak dalam perkembangannya sampai
sekarang cukup dikenal di masyarakat dengan sebutan bedak Tarate, dupa Tarate
dan jamu Tarate.
Sementara itu, dalam konteks kebangsaan. Kiai Zainal memiliki
kepedulian yang sangat tinggi terhadap kondisi bangsa. Baginya, keterpanggilan
ikut melepaskan bencana yang dialami bangsa sejatinya ikut membantu masyarakat
lepas dari kemiskinan dan ketidak berdayaan akibat tekanan penjajah. Karenanya, beliau aktif dalam organisasi
sosial dan politik di era penjajahan Belanda dan Jepang agar kontribusi yang
dilakukan lebih besar, disamping melakukan proses mengajar kitab kuning kepada
santri di pesantren yang diasuhnya.
Tahun 1917 hingga 1928, Kiai Zainal tercatat sebagai aktivis,
bahkan pernah menjabat pimpinan Serikat
Dagang Islam (SDI) cabang Sumenep. Perlu diketahui SDI -dalam perkembangannya
berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)-- adalah merupakan organisasi perkumpulan para
pedagang Islam yang pertama kali lahir di Indonesia atas inisiasi Haji Samanhudi
dan dilanjutkan oleh HOS. Tjokroaminoto untuk merespon kebijakan politik
Belanda yang memberikan kemudahan bagi asing untuk masuk ke Nusantara, yang dianggap
mengancam sintem perekonomian lokal.
Untuk itu keterlibatan Kiai Zainal di SI adalah bentuk
kesadaran beliau terhadap ancaman ekonomi umat, bila kebijakan politik ekonomi
Belanda dibiarkan. Semangat nasionalisme Kiai Zainal muncul karena beliau
melihat sendiri bahwa ekonomi umat perlu dikembangkan secara mandiri. Hadirnya kelas
kapitalis global dalam kancah pasar lokal, melalui kebijakan Belanda, akan
menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Bahkan bisa dipastikan pemain lokal –yang
mayoritas Muslim-- akan tergerus dan rakyat akan menjadi konsumen, sementara
pasar dikuasai oleh asing. Maka melalui SI, Kiai Zainal melawan Belanda sebagai
penjajah, sekaligus simbol pendukung kapitalis asing.
Bukan hanya itu, era perang revolusi 1945 yang melibatkan
peran Santri di berbagai daerah memantik Kiai Zainal terlibat aktif sebagai
pimpinan pasukan Sabilillah bersama Kiai Abi Suja’, yang masih keponakannya. Berbagai
upaya dilakukan, termasuk di antaranya menjadi pelatih kanuragan bagi para
anggota Sabilillah untuk menguatkan daya juang merebut kemerdekaan. Karenanya,
kontribusi Kiai Zainal sebagai pejuang diabadikan namanya agar dikenal –sekaligus
diteladani perannya-- oleh generasi terkini sebagai nama jalan. Nama Jalan ini
ditetapkan oleh Pemda Tingkat II Sumenep dengan sebutan “jalan KH. Zainal
Arifin”, berada di persimpangan jalan tengku umar dan jalan Diponegoro ke arah
selatan kota Sumenep.
Perlu diketahui, Kiai
Zainal keluar dari keanggotaannya di Sarekat Islam (SI) setelah NU berdiri pada
tahun 1930 Masehi di Sumenep. Alasannya cukup rasional, yang disampaikan oleh
Kiai Zainal kepada salah satu muassis NU Sumenep Kiai Abi Suja’ ketika meminta
restu proses pendirian NU di Sumenep setelah kedatangan Kiai Munif sebagai
konsulat NU Jawa Timur. Kiai Zainal mengatakan kepada Kiai Abi Suja’ sebagai
berikut:
“Kalau sekarang Nahdatul ulama berdiri,
maka SI sudah tidak diperlukan lagi sebab SI perjuangannya hanyalah mas’alah
ekonomi islami. Jadi dengan adanya Nahdlatul Ulama kini sudah waktunya Ulama
tampil ke depan. Dari itu, kamu saja yang menjadi pelopornya sebab saya sudah
tua.
Akhirnya. Itulah kisah singkat perjalanan hidup Kiai Zainal
Arifin Tarate Pandian Sumenep. Yang perlu diingat, sepanjang hidupnya, beliau telah mencurahkan
tenaga dan pikirannya untuk pengembangan ilmu, berdakwah, beribadah dan
mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsa. Dengan cara ini nama beliau
layak dikenang dan diteladani bagi generasi sekarang, sekalipun beliau telah
lama meninggalkan kita semua pada hari Rabu
setelah sholat Subuh. Bertepatan dengan tanggal 22 Muharram 1373 H atau tanggal
20 September 1953.@wasidmansyur
Leave a Comment