MUHAMMAD (BUKAN) MANUSIA BIASA
ﻣﺤﻤﺪ ﺑﺸﺮ ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺎﻟﺒﺸﺮ # بل هو كاليقوت
بين الأحجار
(Nabi
Muhammad adalah manusia, tapi tidak seperti manusia (biasa
Bahkan
Dia adalah laksanaYaqut di antara bebatuan
...................................................................
...................................................................
Menarik
membaca jejak perjalanan Nabi Muhammad Saw, apalagi ketika berada dalam bulan
Rabi’ul Awal, yang merupakan bulan kelahiran Beliau. Pasalnya, membaca di bulan
mulia ini mengantarkan adanya gerak
spiritual dalam batin kaitan kemulian beliau yang sulit digambarkan, mengingat
di berbagai tempat banyak para pecinta Nabi mengekpresikan kecintaannya dengan
lantunan sholawat Nabi Muhammad yang diiringi suara merdu dan alunan
“terbangan”; baik siang maupun malam hari; sebuah gambaran bagaimana indahnya
praktik keagamaan bersenyawa dengan kebudayaan lokal.
Untuk
itu, penulis berusaha mengurai dengan singkat melihat sisi Nabi Muhammad dari
dirinya sebagai manusia biasa, sekaligus dengan kelebihan yang dimiliki
dibandingkan dengan manusia yang lain. Melihat Nabi Muhammad sebagai manusia
biasa sejatinya mendidik kita agar kita mampu melihat beliau apa adanya sebagai
manusia yang hidup dalam lintasan sejarah kemanusiaan dengan kondisi sosial dan
budaya melingkupinya.
Dengan
melihat kelebihannya, kita harus juga memahami dengan kesadaran bahwa Nabi Muhammad
memiliki keistimewaan sehingga kita harus penuh ketulusan mencintai beliau
dalam kondisi apapun dengan memperbanyak membaca sholaawat, di samping
meneladani prilaku yang dicontohkan beliau melalui irisan-irisan wahyu yang
melegimasinya dalam rentetan sejarah kehidupannya (wa innaka la’ala huluqin
adhim) dan yang termaktub dalam hadith-hadithnya. Karenanya, pada
kesempatan ini, penulis menggunakan buku “Wa Kana Khuluhu al-Qur’an” buah
karya Sayyidi Abdul Wahab al-Sya’rani, yang ditahqiq oleh Abdul Halim
Mahmud al-Azhar Mesir.
Laksana “Permata"
Kaitan
sisi Nabi Muhammad sebagai manusia, Sayyidi Abdul Wahab menjelaskan tentang
pandangan orang-orang kafir yang memastikan bahwa Nabi Muhammad juga manusia
yang memiliki potensi sebagai mana mereka, yakni suka harta, jabatan, dan
perhiasan.Tapi mereka ingkar potensi lebih Nabi Muhammad itu sendiri, yang
tidak dimiliki –bukan mustahil terjadi-- oleh orang lain, yaitu adanya wahyu
yang diberikan oleh Allah SWT.
Itu
artinya, dengan wahyu ilahi, Nabi Muhammad sepanjang hidupnya selalu mendapat
bimbingan-Nya. Kalaupun kemudian terjadi kesalahan, tanpa menunggu waktu lama
Nabi Muhammad mendapat teguran langsung dariNya. Bukankah Nabi Muhammad pernah
ditegur secara langsung kaitan tentang sikap beliau yang tidak menghiraukan
Abdullah Ibn Ummi Maktum; seorang buta yang telah masuk Islam untuk bertanya
tentang sesuatu hal, hanya karena Nabi Muhammad sedang asyik mengobrol dengan
para pembesar orang Musyrik, yang diharapkan mereka masuk Islam. Karenanya,
Nabi Muhammad dikenal dengan manusia ma’shum (terjaga) dari segala keburukan. Kema’shuman
ini menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad laksana permata di antara bebatuan, yang
menampakkan kemilaunya sehingga memantik siapapun mengharapkan petuah beliau.
Sebagai
permata, maka ada dua sisi kelebihan dari Nabi Muhammad, yaitu berkaitan dengan
sikapbelas kasih (rahmat) dan keberaniannya (al-Syuja'ah) (hal;80-81). Tentang kerahmatan Nabi Muhammad, Sayyidi
Abdul Wahhab memastikan banyak riwayat yang menyebutkan; baik dalam al-Qur’an
maupun hadith, misalnya wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-‘alamin.
Menariknya, kerahmatan beliau tidak saja dirasakan oleh keluarga dan temannya,
tapi manusia secara umum, termasuk kepada non-Muslim. Bahkan hewanpun juga
merasakan rahmatnya. Hal ini senada dengan hadith Nabi
Muhammad, yang dengan tegas mengatakan:
إني لم أبعث لعانا وإنما
بعثت رحمة
"Sesungguhnya saya tidak diutus untuk melaknat (pihak lain), tapi sesungguhnya aku diutus untuk memberikan kerahmatan".
Sementara itu, kaitan dengan keberanian Nabi Muhammad menarik –bahkan layak-- untuk diteladani. Beliau dalam setiap perang sering memimpin sendiri peperangan (Jihad) dengan berbagai strategi perang yang dirancang bersama para sahabat. Tapi. “Jihad” yang dimaknai berdasarkan redaksi katanya tidak selalu diartikan perang di medan laga sehingga kita harus ekstra hati-hati memahami kata Jihad agar tidak “gagal paham”, yang berakibat pada proses reduksi visi kerahmatan yang telah diwariskan oleh Nabi.
Kaitan
dengan ini, Sayyidi Abdul Wahab memasukkan bagian dari jihad adalah menegakkan
kebenaran dengan sebenarnya. Karenanya, penegak hukum wajib menegakkan
kebenaran, jauhkan dari rekayasa hukum yang hanya tajam kepada pihak tertentu
dan tumpul kepada kerabat serta teman sejawat dan kelompoknya. Hukum semestinya
berlaku sama kepada siapapun sehingga tercipta tatanan sosial yang tertib sebagaimana
keberanian Nabi Muhammad menghukum siapapun yang mencuri, sekalipun bila yang
melakukan pencurian adalah Fatimah putri beliau.
Di
samping itu, bagian dari jihad lagi adalah menjauhkan umat dari kerusakan,
apapun bentuknya, tegas Sayyidi Abdul Wahab. Jangan berteriak atas nama Islam
atau berdalil menegakkan ajaran Nabi Muhammad, lantas bertindak semena-mena dengan
melakukan berbagai kerusakan sosial, termasuk alam. Inilah yang menjadikan kita
harus berhati-hati agar tidak menjadi golongan hipokrit sebab selalu berdalih
melegitimasi tindakan dharar sebagai ajaran Islam.
Akhirnya, mari teladani kerahmatan dan keberanian Nabi Muhammad. Pastinya,
perlu pembacaan dan ketulusan untuk mempelajarinya dengan sungguh-sunguh agar
tidak salah tafsir atau gagal paham dalam konteks kekinian sebab Nabi Muhammad
berada dalam ruang sejarah yang berbeda dengan kita, dan pancarannya selalu
mampu melahirkan tafsir berbeda. Tapi, pada prinsipnya, prinsip menebarkan
kasih sayang (rahmah) harus menjadi penentu sebab teladan Nabi tidak bersifat
invidual-kasuistik, tapi juga berlaku pada umatnya dengan menangkap substansi
nilai permatanya yang memancar dari beliau sebagai rahmat li al-‘alamin. (*) dsw
Leave a Comment