SANAD ILMU
Dalam salah satu kesempatan Gus Muda
Pondok Pesantren Ploso Kediri, Gus Abdurrahman al-Kautsar (Gus Kautsar) mengatakan;
“penting banget kito mniko mendapat panutan dan guru yang tepat. Karena
situasinya hari ini kayak seperti ini. Pundi-pundi macem-macem guru. Dolek guru
yang sanadnya jelas. Ojok sak sae. Jangan kemudian karena panjengan, bisa iso bahasa Arab panjenengan tidak mencari guru”.
Pernyataan yang sangat berbobot disampaikan di hadapan ribuan audien “Ngaji
Mahasantri Millenial” di PWNU Jawa Timur pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober
2019.
Dikatakan berbobot sebab pernyataan Gus
Kautsar memiliki momentumnya di tengah maraknya para dai atau agamawan
karbitan, yang mengandalkan ketenaran dan pencitraan daripada kedalaman ilmu
sebagai pandu dirinya untuk menuntun diri dan umatnya pada jalan menuju
hubungan dengan Allah Swt di satu sisi, dan hubungan dengan manusia serta alam
semesta di sisi yang berbeda. Akibatnya, banyak pemahaman keagamaan yang
dimutilasi tanpa menimbang logika tafsirnya, dan lebih parah lagi pesan agama
disampaikan dengan narasi kebencian, baik isi maupun gaya penyampaian. Bukankah
Islam mengajarkan agar kita berkata dengan lembut (qoulan layyinan), lihat
Surat Thaha, 44.
Oleh karenanya, sanad ilmu dalam
memahami Islam sangat penting, baik untuk diamalkan sendiri atau disampaikan
kepada orang lain. Tidak cukup hanya punya kemampuan membaca bahasa Arab atau
hanya bergantung pada penggunaan terjemahan, kemudian merasa cukup untuk tidak
mencari guru. Padahal al-Qur’an atau hadith memiliki banyak kandungan arti yang
tidak bisa selesai dipahami dengan pemahaman melalui terjemah, misalnya soal
makna ‘am, khas, majaz dan lain-lain.
Lantas, apa pentingnya sanad dalam ilmu.
Pertama, agar kita memiliki sandaran dalam memahami agama, baik dalam akidah,
fikih, maupun hadith. Sandaran yang dimaksud adalah kita berpijak pada
bagaimana pada guru ini memahami teks-teks agama, sekaligus bagaimana metode
yang digunakan para guru dalam mengambil putusan hukum dan amal. Cara ini sangat
penting agar kita tidak mengunakan cara-cara yang tidak lazim dalam studi
keislaman, apalagi menafsirkan dengan mengikuti hawa nafsu dan kepentinagn
sesaat (baca: politik).
Contoh sederhana, kalangan moderat,
dengan belajar pada tafsir yang dilakukan oleh kalangan pesantren, kaitan
dengan misalnya Resolusi Jihad sangatlah jelas. Bagi kalangan pesantren jihad
memiliki hubungan dengan kedamaian. Artinya, dalam situasi yang tertekan, dimana kedamaian
tidak terwujud dan menjalankan ajaran terganggu oleh penjajah, maka
mempertahankan NKRI adalah wajib bagi setiap individu. Berbeda dengan kelompok
radikal, yang tidak mengutamakan prinsip damai. Semua dianggap thaghut dan
kafir sebab diyakini bertentangan dengan Islam, padahal untuk menjadi
Negara Islam tidak cukup kita hanya terjebak pada formalitas belaka,
mengabaikan substansinya, lantas berteriak Jihad dan takbir. Bukankah Islam
mengajarkan damai, dan bukankah prinsip-prinsip Pancasila tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam.
Kedua, menyambungkan “roso” dalam
memahami agama. Hubungan santri dengan guru akan melahirkan adanya pertemuan
“roso”dalam memahami serta mempraktikkan nilai-nilai Islam. Para guru mampu
mengajarkan keteladanan dalam ilmu dan amal. Karenanya, berguru pada “Syaikh
Google” sangat berbahaya sebab tidak jelas asal usulnya, alih-alih pemahamannya
mendekati atau sama dengan pemahaman para ulama shalih, terlebih dengan Nabi
Muhammad SAW.
Dengan begitu, maka Google bukanlah
guru, tapi sebatas medium awal untuk memahami, bukan untuk diikuti. Jika
memaksakan, maka sangat dimungkinkan –bahkan lebih besar potensinya—jatuh dalam
kesesatan. Imam al-Auza’i (w.773/774 M) mengingatkan sebagai berikut:
كان هذا العِلْمُ
كَرِيمًا يَتَلَاقَاهُ الرجالُ بينَهم فلمَّا دَخَلَ في الكُتُبِ دَخَلَ فيه غيرُ
أَهْلِه
Ilmu
ini mulia, yang mempertemukan banyak orang (untuk saling belajar). Siapapun
orangnya yang masuk –tanpa guru memahami/mendalami— dalam beberapa kitab, maka
sangat dimungkinkan ia bukan termasuk ahlinya.
Perkataan al-Auzai mengingatkan kita
agar hati-hati sebab tidak cukup seseorang hanya mengandalkan kemampuan
intelektualnya, tanpa belajar pada guru, dalam memahami agama. Dengan kemampuan
akal semata, orang mudah terkena penyakit hati yang berpengaruh pada
pemahamannya. Setidaknya tidak memiliki roso dengan Guru sebagai teladan dalam
ilmu dan amal. Maka, saatnya kita yakinkan pada diri anda bahwa “Google
bukanlah guru, tapi sebatas informasi” sehingga tidak perju menjadi landasan
utama.
Karenanya, salah satu ulama Nusantara
yang sangat konsisten menjaga sanad ilmu dan menulisnya dalam kitab tertentu
adalah Syaikh Mahfudh Termas dalam karyanya Kifayah al-Mustafidz ‘lima ‘ala min
al-Asanid dan Syaikh Yasin al-Fadani dalam karyanya al’Iqd al-Farid min
Jawahir al-Asanid. Dua karya ini adalah contoh, yang di dalamnya
termaktub bagaimana keilmuan berdua –yang sambung dengan beberapa ulama pesantren--
menjaga sanad ilmu yang diperolehnya. Bahkan dua karya ini menggambarkan
ketersambungan ilmu para guru-guru pesantren dengan para guru mereka hingga
para penulisnya, dan penulisnya juga sampai kepada Rasulullah Swt.
Sumber gamar: santri news
Leave a Comment