MUHAMMAD; SANG PENGAJAR SEJATI (1)
Hari ini kita memasuki bulan Rabi'ul
Awal, salah satu bulan Qamariyah yang sangat mulia sebab kelahiran sosok yang
sangat mulia pula, yakni lahirnya Nabi Muhammad Saw. Karenanya, tradisi
perayaan Maulid Nabi telah dimulai di berbagai daerah dengan beragam kegiatan,
misalnya dari srakalan dengan membaca sholawat barzanji karya Sayid Ja’far
al-Barzanji hingga grebeg mulud.
Untuk itu, dengan semangat menyambut Maulid
Nabi dan agar lebih bisa memaknai, penulis mengungkap jejak-jejak keteladanan
beliau melaui tulisan ini dengan fokus pada
posisi Nabi Agung, Muhammad Saw. sebagai pengajar (al-mu'allim) dengan menggunakan
rujukan utama kitab al-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fi al-Ta'lim (Rasul
Sebagai Pengajar dan Metodenya dalam
Mengajar) buah karya Abd Al-Fattah Abu Guddah, lahir 9 Mei 1917 dan yang wafat
pada 12 Februari 1997.
Menarik tema ini sebab dalam konteks
dunia pendidik, kita masih memiliki banyak problem yang belum tertuntaskan
dengan baik. Pergantian rezim sering kali melahirkan pergantian pola dan tujuan
pendidik. Karenanya, peserta didik seringkali menjadi target percobaan yang
ujung-ujungnya belum mengarah pada tujuan ideal pendidikan dalam rangka
mengantarkan pe-manusiaan manusia dengan sesungguhnya,
Selanjutnya, tunjangan dosen atau guru
dengan bentuk sertifikasi nampaknya belum mampu menjadi satu-satunya problem
solving atas persoalan dunia pendidikan yang masih terus muncul, khususnya
bagaimana pendidikan menjadi potret melahirkan orang-orang terdidik, sekaligus mengantarkan terciptanya karakter luhur, baik anak didik, lebih-lebih para dosen atau guru sebagai ujung
tombak. Oleh sebab itu, ulasan Abu Guddah menarik untuk menjadi refleksi atas
usahanya menggambarkan sosok Nabi Agung Muhammad sebagai Pengajar Sejati,
dibulan kelahiran Beliau.
Harus Berkepribadian
Salah satu watak dan kepribadian Nabi
Muhammad sebagai pengajar menurut Abu Guddah (hal: 10-14) adalah mengedepankan
kasih sayang, tidak suka menyusahkan, memberikan kemudahan, dan lemah lembut
kepada anak didik. Di samping itu, Nabi dikenal sangat “loman” memberikan ilmunya
dan kebaikan lainnya dalam setiap waktu dan kesempatan di tempat yang mulia dan
dengan akhlak yang mulai.
Watak dan kepribadian Nabi semestinya
harus kita tiru, bila kita mengaku betul-betul umatnya dan mencintai beliau,
apalagi kita sebagai pengajar yang berhadapan dengan peserta didik (santri)
dalam setiap proses belajar-mengajar. Pengajar bukanlah individu yang hanya bertugas
transfer pengetahuan, tapi juga harus memberikan garda terdepan dalam
meneladankan keluhuran pekerti di kehidupan nyata. Ketika ilmu yang kita
sampaikan benar, tapi kenyataannya dalam proses penyampaian itu tidak
mengindahkan prinsip-prinsip keluhuran budi pekerti, maka akan dipastikan ilmu kurang
berkah, untuk tidak mengatakan tidak akan bermanfaat, dan sulit tertangkap
dengan sempurnah oleh peserta didik.
Salah satu riwayat yang dikutip Abu
Guddah adalah riwayat imam Tirmidi dalam kitabnya al-Syamail al-Muhammadiyah,
yang diperoleh dari perkataan Sayyina Ali RA kaitan penjelasan mengenali masjis
ilmu bersama Nabi Muhammad. Sayyidina Ali berkata: “Nabi adalah sosok yang tidak
pernah membandingkan para audiennya (pendengarnya). Semua diberi hak yang sama sehingga
beliau tidak membanding-bandingkan di antara mereka. Lebih dari itu, Nabi adalah
sosok yang sangat sempurna tawadhu’nya kepada muridnya, orang yang bertanya,
dan mereka yang lemah pemahamannya”.
Penjelasan Sayyidina Ali ini harus
menjadi dasar etik bagi para pengajar, baik sebagai guru, dosen, ustad hingga
kiai. Pertama, dengan tidak memberikan
kemuliaan berlebihan kepada murid tertentu, maka pengajar harus memperhatian
peserta didik secara merata sehingga dalam proses transfer pengetahuan harus
mempertimbangan kadar kemampuan mereka, bukan sekedar pemenuhan standar RPP
atau SAP terpenuhi. Bukankah mengajar adalah tugas mulia dalam menambah ilmu,
sekaligus menjadi teladan dalam praktik.
Kedua, dengan memperhatikan karakter
peserta didik, sebagai pengajar harus ekstra hati-hati dalam berprilaku,
termasuk dalam berbicara. Jangan sampai kepercayaan murid kepada guru sebagai
pengajar hancur, karena pengajar suka bertindak kasar atau berkata kasar dalam
mengurai problem belajar-mengajar, termasuk dalam pembimbingan. Jangan lantas,
pengajar yang bergelar berlipat-lipat – yang terkadangan sulit disebutkan—lantas
merasa lebih tahu, kemudian mengabaikan pengetahuan muridnya. Terkadang kita
sebagai pengajar, juga harus “legowo” belajar kepada murid kita dalam kasus
tertentu.
Apa yang dilakukan Nabi, menurut penulis
dalam rangka memanusiakan manusia. Peserta didik adalah manusia yang memiliki
cita-cita luhur untuk mengetahui banyak hal, khususnya yang berhubungan dengan
nilai-nilai Islam. Maka, menghormati mereka sama artinya menghormati ilmu yang
mengantarkan diri beliau juga memiliki posisi luhur. Dengan ilmu kita menjadi
sempurnah menghamba kepada Allah, termasuk bergaul dengan sesama manusia dan
alam.
Pada akhirnya, mari kita belajar dari
Nabi sebagai pengajar sejati, yang mengedepankan karakter dalam proses, tanpa
melupakan bobot ilmu yang disampaikan sesuai kapasitas audiennya (pendengarnya).
Shollu ‘alan Nabi Muhammad. (bersambung ...)
Leave a Comment