KIAI MUN'IM: JUJUR ADALAH MODAL SUKSES
Pengajian
Ahad Kliwon adalah kegiatan bulanan yang terlaksana atas kerjasama 5 MWCNU,
yakni Waru, Taman, Gedangan, Sedati dan Sukodono, yang dihadiri oleh pengurus
NU, pejabat pemerintah serta seluruh banom NU, yang didukung penuh oleh GP.
Ansor, Muslimat dan Fatayat. Pengajian diasuh oleh KH. Abdul Mun'im Sholeh, M.HI dari
Sepanjang.
Suasana
panas tidak mengurangi kekhusuan jamaah sehingga tetap mengikuti acara Pengajian Ahad Kliwon hingga
terakhir. Kiai Mun'im dalam kesempatan ini mengupas persoalan tobat yang
termaktub dalam kitab Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’. Salah satu
pertobatan agar mudah diterima disisi Allah adalah menjaga semua anggota tubuh
agar tidak bermaksiat, yang kali ini berkaitan dengan mulut. Karenanya, orang
yang bertobat harus tidak pernah dusta dan tidak suka adu domba.
Secara
khusus, anjuran untuk tidak berdusta dapat dipahami agar kita senantiasa jujur
dalam setiap aktifitas. Kejujuran mengantarkan pertobatan mudah diterima oleh
Allah. Kiai Mun’im menambahkan kaitan pentingnya sikap jujur dengan mengutip
cerita Syaikh Abdul Qadir Jailani; tokoh sufi yang sangat terkenal dan
pengikutnya sampai hari ini menyebar keseluruh dunia, termasuk di Indonesia
dalam ikatan tarekat Qadiriyah dan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Menurut
riwayat capaian derajat kewalian Syaikh Abdul Qadir ditentukan oleh kejujuran
beliau dalam aktivitas keseharian. Riwayat ini, tegas Kiai Mun'im bisa dibaca dalam kitab Irsyad
al-'Ibab karya Syaikh Zain al-Din ibn Abdul ‘Aziz al-Malabary, hal. 70-71 sebagaimana
berikut:
"Suatu ketika Syaikh Abdul Qadir mengembala Sapi. Di tengah-tengah proses mengembala, si Sapi ternyata bisa berbicara dan berbisik kepada Syaikh Abdul Qadir; apakah kamu dijadikan hanya untuk ini? Kejadian ini berkali-kali menimpa beliau. Karenanya, Syaikh Abul Qadir tidak mengembala sapi lagi, tapi malah memilih meminta ijin kepada ibunya untuk pergi “Nyantri” atau menuntut ilmu ke negeri Baghdad, sekaligus untuk berkunjung kepada orang-orang sholeh. Ibunya sangat resah, kok bisa dalam kondisi seperti ini dengan ekonomi pas-pasan, apalagi pilihannya sangat jauh dari rumah sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Lantas, Syaikh Abdul Qadir menceritakan asal-muasal dirinya ingin “Nyantri” kepada ibunya berkaitan dengan teguran Sapi. Sambil menangis, sekaligus melihat potensi lebih putranya, sang ibu merestui anaknya dengan diberi bekal 40 dinar dari kekayaan warisan suaminya, yang berjumlah 80 dinar. Sungguh, tekad Syaikh Abdul Qadir sangat kuat, seraya dia juga harus menerima kontrak perjanjian berat dari ibunya “agar ia jujur dalam setiap aktivitas” dengan pesan: Jangan pernah berdusta, wahai anakku!
Berangkatlah Syaikh Abdul Qadir bersama kafilah yang juga sama-sama meluncur ke Baghdad. Di tengah perjalanan, tidak disangka-sangka perampok menghadang dan merampas semua barang yang dibawah oleh kafilah tadi, termasuk bekal Syaikh Abdul Qadir sempat ditanyakan sekalipun tidak diambil, padahal sudah diberitahui ada bekal. Kemudian, perampok melaporkan hasil rampasan kepada ketuanya, sambil bercerita masih ada yang belum diambil, yaitu barang Abdul Qadir, ngakunya.
Singkat cerita, akhirnya Syaikh Abudl Qadir dipanggil oleh pimpinan perampok untuk menghadap. Lantas beliau ditanya, apa yang kamu bawa wahai Abdul Qadir?, saya membawa uang 40 Dinar yang aku letakkan di saku dekat ketiak sehingga sulit orang mengetahuinya, tegas Syaikh Abdul Qadir. Atas jawaban ini, pimpinan rampok terheran-heran seraya berkata mengapa anda sangat jujur sekali?. Syaikh Abdul Qodir menceritakan bahwa uang disagu itu berjumlah 40 dinar itu adalah bekal saya untuk “Nyantri” ke Baghdad, tapi sebelum berangkat Saya diberi pesan oleh ibu agar jujur dalam setiap aktivitas. Karenanya, sampai kapanpun saya hormat pada perintah ibu. Dan sampai kapanpun saya akan jujur sekalipun taruannya mati. Atas kejadian ini, ketua perampok itu bertobat, berikut juga anak buahnya ikut bertobat hingga barang rampasannya dikembalikan lagi."
"Suatu ketika Syaikh Abdul Qadir mengembala Sapi. Di tengah-tengah proses mengembala, si Sapi ternyata bisa berbicara dan berbisik kepada Syaikh Abdul Qadir; apakah kamu dijadikan hanya untuk ini? Kejadian ini berkali-kali menimpa beliau. Karenanya, Syaikh Abul Qadir tidak mengembala sapi lagi, tapi malah memilih meminta ijin kepada ibunya untuk pergi “Nyantri” atau menuntut ilmu ke negeri Baghdad, sekaligus untuk berkunjung kepada orang-orang sholeh. Ibunya sangat resah, kok bisa dalam kondisi seperti ini dengan ekonomi pas-pasan, apalagi pilihannya sangat jauh dari rumah sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Lantas, Syaikh Abdul Qadir menceritakan asal-muasal dirinya ingin “Nyantri” kepada ibunya berkaitan dengan teguran Sapi. Sambil menangis, sekaligus melihat potensi lebih putranya, sang ibu merestui anaknya dengan diberi bekal 40 dinar dari kekayaan warisan suaminya, yang berjumlah 80 dinar. Sungguh, tekad Syaikh Abdul Qadir sangat kuat, seraya dia juga harus menerima kontrak perjanjian berat dari ibunya “agar ia jujur dalam setiap aktivitas” dengan pesan: Jangan pernah berdusta, wahai anakku!
Berangkatlah Syaikh Abdul Qadir bersama kafilah yang juga sama-sama meluncur ke Baghdad. Di tengah perjalanan, tidak disangka-sangka perampok menghadang dan merampas semua barang yang dibawah oleh kafilah tadi, termasuk bekal Syaikh Abdul Qadir sempat ditanyakan sekalipun tidak diambil, padahal sudah diberitahui ada bekal. Kemudian, perampok melaporkan hasil rampasan kepada ketuanya, sambil bercerita masih ada yang belum diambil, yaitu barang Abdul Qadir, ngakunya.
Singkat cerita, akhirnya Syaikh Abudl Qadir dipanggil oleh pimpinan perampok untuk menghadap. Lantas beliau ditanya, apa yang kamu bawa wahai Abdul Qadir?, saya membawa uang 40 Dinar yang aku letakkan di saku dekat ketiak sehingga sulit orang mengetahuinya, tegas Syaikh Abdul Qadir. Atas jawaban ini, pimpinan rampok terheran-heran seraya berkata mengapa anda sangat jujur sekali?. Syaikh Abdul Qodir menceritakan bahwa uang disagu itu berjumlah 40 dinar itu adalah bekal saya untuk “Nyantri” ke Baghdad, tapi sebelum berangkat Saya diberi pesan oleh ibu agar jujur dalam setiap aktivitas. Karenanya, sampai kapanpun saya hormat pada perintah ibu. Dan sampai kapanpun saya akan jujur sekalipun taruannya mati. Atas kejadian ini, ketua perampok itu bertobat, berikut juga anak buahnya ikut bertobat hingga barang rampasannya dikembalikan lagi."
Kejujuran sekali
lagi ada kunci sukses. Dan pada akhir pertemuan, Kiai Mun’im berpesan agar semua jama'ah senantiasa dekat kepada Allah agar dijauhkan dari kebohongan dan dijauhkan pula dari
upaya mengadu-domba sesama manusia. Pasalnya, dosa sosial ini diyakini akan menghambat pertobatan
kita, termasuk sulit diterimanya doa-doa yang kita panjatkan.
Berbeda dengan
Syaikh Abdul Qadir, yang sekali berdoa, tak begitu lama Allah mengabulkan
doanya sebagaimana disebutkan dalam sejarah kehidupannya atau manaqibnya,
Acara berakhir, pukul 12. 10 siang hari dan diteruskan sholat berjama’ah di Masjid Sunan
Ampel serta sebagian langsung pulang, setelah acara ditutup dengan do’a. (*)
Jujur kunci.sukses dan kunci penghalang perjalanan hidup .dan tak ada keberhasilan tanpa adanya kejujuran
BalasHapus